Alat berat mulai menghancurkan ratusan rumah warga Bukit Duri di Jakarta, Rabu (28/9/2016). Penertiban terhadap bangunan di bantaran Kali Ciliwung ini dilakukan Pemrov DKI Jakarta untuk mengembalikan fungsi sungai.

Jakarta, Aktual.com – Utang baru dari Bank Dunia dan Asian Infrastructure Investment Bank sebanyak masing-masing US$ 216,5 juta atau Rp2,82 triliun serta US$ 216,5 juta atau Rp2,82 triliun, untuk proyek kota tanpa kumuh hanya akan melahirkan pola penggusuran baru.

Penggusuran itu akan lebih refresif. Apalagi selama ini model-model penggusuran di kota-kota Indonesia selalu menggunakan cara-cara kekerasan. “Contoh yang paling nyata adalah saat penggusuran di Bukit Duri, Kampung Pulo, Jakarta. Apalgi penggusuran Bukit Duri bagian dari proyek WB. Sehingga dengan kata lain, Bank Dunia terlibat dalam penggusuran paksa di Bukit Duri,” ujar Koordinator ELSAM Andi Muttaqien di Jakarta, Sabtu (15/10).

Proyek yang dia maksud adalah, penggusuran Bukit Duri menjadi tahapan untuk konstruksi dan dan peningkatan kapasitas kanal untuk mencegah masalah genangan air, salah satu titik dari proyek Jakarta Urgent Flood Mitigation Project-Jakarta Emergency Dredging Initiative Project.

Total pinjaman itu adalah US$ 433 juta atau setara Rp5,63 triliun untuk pengembangan proyek KOTAKU atau National Slum Upgarding Project terhadap 153 kita dan satu provinsi DKI Jakarta. “Untuk tahun 2016-2017 kedua bank multilateral itu akan membiayai kegiatan proyek di 20 kota terlebih dahulu.”

Dan, kata dia, jika benar proyek utang KOTAKU itu ingin menghilangkan pemukiman kumuh di Indonesia, maka bisa diprediksi akan ada bentuk kekerasan yang terjadi di 20 kota di Indonesia di tahun pertama. Termasuk di kota Makasar. Apalagi memang, pemerintah tidak pernah menggelar konsultasi publik terlebih dahulu dengan masyarakat atau perwakilan masyarakat terdampak. “Sehingga hal itu telah memicu gejolak di tengah masyarakat.”

Koordinator Walhi Sulawesi Selatan, Muhammad Amien menambahkan, warga terdampak proyek mengakui tidak pernah mengatahui bahwa pemukiman mereka masuk kategori kumuh, serta akan diubah melalui proyek utangan Bank Dunia-AIIB itu.

Masyarakat itu, kata Amien, tidak akan mau dipindahkan ke tempat lain karena mereka telah bermukim selama 30 tahun lebih. Dan pemukiman mereka juga terintegrasi dengan sumber penghidupan mereka di muara Sungai Tallo. “Artinya, proyek ini sangat berisiko menghilangkan sumber penghidupan masyarakat juga. Dan hal ini tidak pernah dibicarakan oleh pemerintah dengan masyarakat,” kata Amien.

Untuk itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemantau Infrastruktur yang terdiri dari Walhi, ELSAM, ILRC, INDIES, menyampaikan beberapa pernyataan sikap, anyara lain,

Pertama, meminta WB untuk meninjau ulang pemberian utang untuk NSUP ity. Karena pihaknya tidak menginginkan dana utang digunakan untuk menghilangkan hak sosial ekonomi masyarakat.

Kedua, WB harus kembali meningkatkan status risiko tingkat B menjadi tingkat A, menggunakan sistem pengamanan WB dan dilakukan konsuktasi publik yangbbermakna dengan warga terdampak proyek di kota-kota yang ditargetkan untuk digusur.

Dan ketiga, harus dilakukan penilaian risiko akan potensi kekerasan yang terjadi, khususnya dari pihak termasuk TNI, Polisi, satpol dan preman-preman terkait dengan proyek.

Laporan: Busthomi

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu