Jakarta, Aktual.com – Terpuruknya nilai mata uang India dan Indonesia di kawasan Asia tampaknya bukanlah hal yang cukup mengherankan bagi sejumlah pengamat ekonomi dunia. Seperti yang dikemukakan oleh Indeks kerentanan eksternal Moody’s Investors Service – yang merupakan rasio utang jangka pendek, jatuh tempo utang jangka panjang dan deposito non-penduduk selama satu tahun dihitung sebagai proporsi cadangan – menempatkan Indonesia pada 51 persen dan India pada 74 persen.
Dimana Moody’s mencatat pada akhir Mei 2018 lalu, India, Indonesia memiliki utang luar negeri yang relatif tinggi terhadap cadangan. Adapun Indeks kerentanan dihitung sebagai jumlah utang luar negeri jangka pendek, saat ini jatuh tempo utang luar negeri jangka panjang dan total deposito bukan penduduk selama satu tahun, dibagi dengan cadangan devisa. Data diperkirakan untuk 2018.
Namun anehnya, Mood’s melihat bahwa Malaysia dan Filipina mengalami perbedaan yang signifikan, dimana nilai mata uang ringgit seharusnya juga terpengaruh sama halnya dengan Indonesia dalam perekonomian di Asia. Sementara Filipina memiliki eksposur asing yang rendah meski mata uang yang merupakan pemain terburuk kedua di Asia, dimana sebelumnya diketahui telah turun hampir 5 persen terhadap dolar.
Adapun kondisi keuangan global yang lebih ketat membuat nilai mata uang mereka (Malaysia-Filipina) lebih tinggi untuk membiayai kembali utang luar negeri dan menambah tekanan pada mata uang.
Selain itu, Moody’s juga menjelaskan bahwa pada beberapa negara, termasuk Indonesia dan Filipina, hasil panen trus mengalami peningkatan. Namun, tingkat depresiasi dan lebih umum, pengetatan dalam kondisi pembiayaan, adalah tempat yang sama besarnya dibandingkan dengan taper tantrum pada 2013.
Sementara itu, menaggapi hal ini, ekonom senior Rizal Ramli menjelaskan, bahwa ia telah mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati terhadap utang negara, karena menurutnya sudah berada di posisi ‘lampu kuning’.
“Saya sudah katakan berkali-kali, hati-hati utang Indonesia sudah lampu kuning. Tapi kan yang ada semua sibuk membantahnya, dengan sejumlah retorika dan data selektif. Lalu apa, mana terobosan sektor riel yang kita lihat saat ini, terlebih aliran modal keluar dari emerging market semakin besar,” ujarnya, kepada, minggu (24/6)
Menurutnya, pemerintah harus jujur menceritakan kondisi sesungguhnya atas apa yang terjadi saat ini. “Ia dong, ini harus dijelaskan kepada masyarakat, dan kita sama-sama carikan solusinya, agar Indonesia tidak mengalami ‘Hard Landing, tapi menjadi Soft Landing. Dan yang saya sesalkan selama ini pemerintah Indonesia menjelaskan data secara parsial, tidak lengkap dan komperhensif. Sebagai contoh, selalu dikatakan bahwa utang Indonesia masih dalam taraf wajar, dan masih rendah dibandingkan dengan Amerika, dan negara lainnya.
“Tapi seberapa defisitnya Amerka, mereka tidak masalah, karena masih bisa jual dolarnya. Tapi Indonesia gak punya power itu, kok bandingnya sama Amerika,” sambungnya.
Sebaliknya, Rizal juga menjelaskan, jika pemerintah juga membandingkan dengan Jepang, ia menilai bahwa Jepang itu sebagian besar utangnya dari dalam negeri dana sedikit dari internasional. “Ingat, mereka (Jepang) itu memiliki internasional net incom yang besar, jadi jangan bandingkan dengan asing terus lah, kita lihat dalam negeri saja,” tegas mantan anggota panel penasihat ekonomi PBB tersebut.
Ia meminta, kepada Presiden Jokowi agar mempertimbangkan langkah-langkah atau kebijakan ekonomi dalam negeri yang cenderung mencekik negara, karena ketergantungan Indonesia diprediksi akan terus memanjang. “Saya yakin pak Jokowi orang yang baik, namun jika kebijakan ekonomi terus menerus seperti ini, juga akan membahayakan pemerintah, dan dapat menggerus kepercayaan masyarakat,” tutupnya.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, bahwa Gubernur Bank Indonesia (BI) mengomentari jumlah utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir April 2018. Dari catatan BI, ULN tersebut berada pada angka 356,9 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp 4.996,6 triliun (kurs Rp 14.000 per dollar AS).
Menurut Perry, ULN tersebut masih dalam kategori aman jika dilihat dari rasio produk domestik bruto (PDB). “Jadi jangan dilihat nominalnya, sebab ukuran ini kan relatif. Satu dollar AS sekarang kan berbeda dengan satu dollar AS 10 tahun lalu. Jadi harus dibandingkan satu dollar sekarang dengan ekonomi kita,” ucap Perry kepada wartawan selepas halalbihalal di Kompleks Gedung BI, Jakarta, Jumat (22/6/2018) lalu.
Ia juga menambahkan, dengan rasio PDB sekarang, maka outstanding utang tersebut masih aman. Baca juga: Menyusut, Utang Luar Negeri Indonesia Capai 356,9 Miliar Dollar AS Di sisi lain, Perry juga menerangkan bahwa saat ini kemampuan membayar debt service ratio atau DSR Indonesia masih aman. Indikator berikutnya yang membuat ULN Indonesia masih dalam batas aman adalag adanya ketentuan tentang kehati-hatian dalam pengelolaan utang. Hal tersebut membuat ULN swasta non korporasi wajib untuk melakukan hedging.
“Data kami menunjukkan bahwa 90 persen dari swasta non bank melakukan hedging atau lindung nilai terhadap risiko nilai tukar dan mereka juga melakukan manajemen risiko terhadap likuiditasnya,” jelasnya.
Adapun menurutnya, ketiga indikator seperti outstanding utang terhadap rasio PDB, kemampuan bayar DSR yang aman, dan hedging ULN swasta non korporasi diyakini Perry membuat ULN dari sisi level dan kemampuan bayar serta manajemen risiko cenderung jauh dari bahaya. Sebagai informasi, jumlah ULN Indonesia terdiri atas utang pemerintah dan bank sentral sebesar 183,8 miliar dollar AS serta utang swasta termasuk BUMN sebesar 173,1 miliar dollar AS.
IDK
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta