Direktur Utama PLN Sofyan Basir mengikuti Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (28/1). Rapat tersebut membahas tarif listrik, penerapan subsidi listrik untuk rumah tangga miskin dan evaluasi peralatan pembangkit listrik existing. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama/16

Jakarta, Aktual.com – PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) terus gencar mencari utangan di pasar modal melalui penerbitan obligasi dan sukuk (obligasi syariah) dengan total Rp10 triliun.

Utangan ini menjadi kian besar, apalagi PLN sendiri menjadi BUMN yang paling getol untuk mencari utang, baik dari perbankan, melalui penerbitan obligasi domestik, maupun obligasi internasiol (global bond).

“Sejauh ini kita butuh investasi sebanyak Rp100 triliun. Dananya kita cari sebagian dari kas internal dan sisanya dari utang. Baik sindikasi perbanan, bank multilateral seperti Bank Dunia, obliasi global atau pun bukan,” papar Direktur Keuangan PLN, Sarwono Sudarto di kantornya, Jakarta, Selasa (6/6).

Menurut dia, Penawaran Umum Berkelanjutan ll Obligasi Berkelanjutan dan Sukuk Ijarah Berkelanjutan, dengan target dana yang dihimpun maksimal sebesar Rp10 triliun itu terdiri dari Rp8 triliun untuk obligasi dan Rp2 triliun untuk sukuk ijarah.

“Target dana yang akan dihimpun dalam rencana penerbitan Obligasi Berkelanjutan ll tahap I dan sukuk Ijarah Berkelanjutan ll tahap I tahun 2017 sebanyak-banyaknya sebesar Rp2 triliun,” jelas dia.

Dengan komposisi, kata dia, sebanyak Rp1,6 triliun untuk obligasi dan Rp400 miliar untuk sukuk ijarah.

“PLN akan menggunakan dana hasil penerbitan obligasi dan sukuk tersebut, setelah dikurangi biaya-biaya emisi, untuk memenuhi kebutuhan investasi PLN dalam pembangunan infrastruktur kelistrikan di lndonesia,” tegas Sarwono.

PLN, kata dia, selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN), memiliki tiga segmen bisnis, yaitu pembangkit listrik, transmisi, dan distribusi. Hingga akhir 2016, menurutnya, PLN menguasai 79% dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik atau sekitar 43.294 MW. Kapasitas tersebut meningkat 3,3% dibandingkan 2015 yang sebesar 41.895 MW.

“Selain memiliki pembangkit, Perseroan juga bertindak sebagai pembeli utama listrik dari produsen listrik mandiri (independent power producer/IPP),” tandasnya.

Hingga kini, kata dia, dari sisi rasio elektrifikasi juga terus meningkat dari 88,3% pada akhir Desember 2015 menjadi 91,16% pada Desember 2016.

Sejauh ini, utang-utang PLN memang cukup banyak. Seperti utang dari Bank Dunia (World Bank) sebesar US$3,75 miliar, dari Asian Development Bank (ADB) sebesar US$4,05 miliar, dari Japan International Cooperation Agency (JICA) sebesar US$5 miliar.

Kemudian dari KfW Bankengruppe sebesar 1,65 miliar Euro, AFD Perancis sebesar 300 juta Euro, China Exim Bank sebesar US$5 miliar, China Development Bank sebesar US$10 miliar, dan Islamic Development Bank (IDB) sebesar US$300 juta.

Selanjutnya, baru-baru ini PLN juga mengambil utang dari pasar keuangan internasional US$7 miliar  atau sekitar Rp94,5 triliun. Dengan demikian maka total utang PLN telah mencapai Rp500,175 triliun. Ini merupakan perusahaan dengan rekor tertinggi dalam mengambil utang.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan