Jakarta, Aktual.com — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengaku potensi gagal melakukan pengawasan terintegrasi terkait dengan risiko kondisi industri jasa keuangan. Baik di industri perbankan atau industri keuangan non bank (IKNB).
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK, Firdaus Djaelani, risiko sistemik memang masih berpotensi terjadi di industri jasa keuangan. Terutama di sektor perbankan.
“Makanya OJK selalu melakukan pengawasi industri keuangan. Kita minta dari sisi permodalan baik di IKNB maupun di perbankan agar digenjot,” tandas Firdaus dalam acara peluncuran Aplikasi Sistem Informasi Perizinan Lembaga Jasa Keuangan di Jakarta, Selasa (8/3).
Menurutnya, OJK selalu meminta kepada pelaku di IKNB dalam rangka menggenjot permodalan bisa melakukan mekanisme apa pun, baik itu merger atau cara lain.
“Biar kuat, perusahan asuransi atau pembiayaan yang kecil-kecil, kalau tidak ditambah modal ya kami harap harus dimerger. Ini untuk mengantisipasi adanya potensi default (gagal bayar) di industri keuangan. Sehingga modal harus kuat,” tandas dia.
Hal yang sama diterapkan terhadap lembaga perbankan. OJK selalau minta agar industri keuangan mau menggenjot rasio kecukupan modal (capital adequacy ration/CAR) atau pun menurunkan rasio kredit macetnya ( non performing loan/NPL).
Namun demikian, Firdaus menolak kalau potensi gagal bayar yang berdampak sistemik ada di IKNB. “Krisis yang berdampak sistemik itu terjadi karena bersumber dari dunia perbankan. Makanya di RUU JPSK itu lebih mengaturnya dampak sistemik itu dari perbankan, bukan IKNB,” papar dia.
Dalam hal ini, OJK juga terus melakukan mitigasi risiko dari adanya dampak sistemik tidak hanya dari industri keuangan dalam negeri, tapi juga kondisi di luar negeri.
“Karena krisis sistemik itu bisa saja dipengaruhi dari kondisi perekonomian di dunia internasional. Itu akan terus menjadi sorotan dari OJK,” pungkas dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka