Catatan UNESCO, ujar Arman, di Papua saat ini setiap dua minggu ada satu bahasa ibu yang hilang.

Selain itu, tambah Arman, saat ini masyarakat adat beberapa daerah harus berhadapan dengan eskalasi pembangunan lahan yang sangat luas untuk sumber pangan nasional.

Menurut Arman, dalam konteks pembangunan di Indonesia, masyarakat adat belum dipandang sebagai bagian dari fondasi keberagaman pada bangsa ini.

Padahal, tegas dia, bangunan Indonesia pada awalnya didasari atas keberagaman yang di dalamnya termasuk masyarakat adat.

Menurut Arman, rentannya kondisi masyarakat adat saat ini terjadi karena dasar hukum yang dibangun terkait masyarakat adat sangat diskriminatif.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Yance Arizona berpendapat, terkait masyarakat adat sejatinya memiliki landasan filosofis. Karena, tambah dia, pemerintahan Indonesia dibentuk ditujukan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk masyarakat adat.

Secara yuridis, ungkap Yance, konstitusi UUD 1945 juga mengakui masyarakat adat pada sejumlah pasalnya.

Saat ini, tambah dia, tumpang tindih sejumlah pengaturan terkait masyarakat adat itu mendorong sejumlah pihak untuk menghadirkan pengaturan yang lebih menyeluruh dalam satu undang-undang.

Yance menilai, pembahasan RUU MHA yang merupakan usulan DPR itu saat ini cenderung ke arah politis dengan mempermasalahkan sejumlah terminologi, ketimbang mengedepankan aspek perlindungan masyarakat adat.

Menurut Yance, sejumlah upaya alternatif untuk menghadirkan undang-undang yang memberi perlindungan menyeluruh bagi masyarakat adat bisa dicoba, dengan mengedepankan imajinasi dan kreativitas dari para pemangku kepentingan.

Pendiri dan Dewan Pembina LBH APIK, Nur Amalia berpendapat, kondisi yang dialami masyarakat adat saat ini menegaskan bahwa negeri ini memerlukan kehadiran UU MHA.

Selain itu, ujar Nur Amalia, penanganan masyarakat adat membutuhkan kelembagaan khusus sebagai bentuk afirmatif action.

Kehadiran lembaga khusus ini, jelas Nur Amalia, merupakan aspek krusial yang harus ada untuk mengatasi beda perlakuan yang terjadi antara masyarakat adat dan masyarakat umum dalam mengakses hak-hak mereka.

Nur Amalia juga mengusulkan perlu ada bab khusus dalam pengaturan kelembagaan itu terkait perlindungan serta pemenuhan hak perempuan dan anak adat yang dalam keseharian menghadapi multiple diskriminasi.*

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano