Jakarta, Aktual.com – Sebenarnya tidak begitu terkejut dengan ketidakhadiran Djarot di acara pelantikan dan serah terima jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta kemarin. Mengingat Djarot adalah anak didik Bu Megawati, seorang ratu politik di rumah PDI Perjuangan. Seorang ibu yang pernah demikian jelas memperlihatkan ketidaksukaannya kepada Susilo Bambang Yudoyono, sehingga dua periode kepemimpinan Pak SBY, Bu Mega tidak pernah menghadiri acara kenegaraan di istana. Di saat mantan Presiden yang lain begitu santai datang ke istana dan duduk satu baris bersama Pak SBY. Bu Mega tidak. Dia selalu konsisten bikin acara sendiri di markasnya, saat istana membuat acara. Kecuali saat Pak Jokowi jadi Presiden.

Apa yang pernah dilakukan oleh Bu Mega, seharusnya tidak perlu dilakukan oleh Djarot. Karena ini dapat memberikan kesan negatif terhadap respon publik, dan semakin menodai proses transisi demokrasi di DKI Jakarta. Ini sangat tidak baik bagi masa depan politik kita. Perilaku seperti itu, seharusnya dibuang jauh-jauh dari panggung politik kita. Tidak perlu diulang lagi.

Djarot perlu membaca banyak kisah sejarah. Tentang hubungan pribadi dan politik para tokoh pendiri bangsa. Agar lebih mengerti bagaimana seharusnya bersikap dalam panggung politik negeri ini. Khususnya di DKI Jakarta.

Saya kasih contoh tentang sejarah pertentangan politik antara Soekarno dengan Sjahrir. Dua tokoh ini sama-sama tumbuh dengan nafas nasionalisme dan sosialisme. Namun keduanya memiliki banyak perbedaan soal pandangan ketatanegaraan. Soekarno cenderung kompromistis dan sinkretis. Sedangkan Sjahrir cenderung revolusioner dan idealis.

Kedua tokoh ini sama-sama aktif dalam membidani berdirinya NKRI, perdebatan dan perbedaan pandangan sering mengemuka antar keduanya. Puncaknya, ketika Soekarno mulai menjadi diktator dan mentasbihkan diri sebagai Presiden seumur hidup. Maka Sjahrir pun marah dan ikut menginisiasi pemberontakan 1958. Mendapat perlawanan itu, Soekarno pun memenjarakan Sjahrir serta membubarkan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang didirikan oleh Sjahrir. Tapi Soekarno tidak pernah menyimpan dendam. Ketika tahun 1966 Sjahrir meninggal, Soekarno justru mengeluarkan SK Presiden dan mengangkat Sjahrir sebagai Pahlawan Nasional. Sebuah kedewasaan dalam bernegara dan kedewasaan dalam berdemokrasi yang perlu untuk diteladani.

Demikian pula hubungan Soekarno dengan Buya HAMKA. Walaupun Buya HAMKA pernah dipenjara oleh pemerintahan Soekarno karena terlalu kritis terhadap kebijakan-kebijakan politik Soekarno. Tapi Buya HAMKA tidak pernah menyimpan dendam pada Soekarno. Saat Soekarno berwasiat jika ia meninggal maka meminta Buya HAMKA yang menjadi Imam sholat jenazahnya. Maka permintaan itu pun di penuhi oleh Buya HAMKA. Tercatat lah oleh sejarah, bahwa Buya HAMKA menjadi Imam sholat jenazahnya Soekarno. Momen-momen ini banyak dijelaskan dalam berbagai catatan sejarah, dengan gambaran suasana yang begitu haru. Karena disana tampak kelembutan jiwa Buya HAMKA dan kebesaran hati Soekarno mengakui kesalahannya.

Fakta-fakta sejarah yang begitu inspiratif seperti ini, banyak mengisi sejarah perjalanan bangsa kita. Bila direnungi dengan hati yang jernih, maka bisa mengajarkan banyak pesan positif kepada kita, khususnya dalam interaksi kita dengan segenap warga bangsa dan sikap kita dalam bernegara.

Tanpa terkecuali, semua orang yang hidup di negeri ini, seharusnya mampu meneladani kedewasaan, kebijaksanaan, dan kebesaran jiwa para tokoh-tokoh pendahulu itu. Terlebih lagi para pejabat dan para politisi, banyak aktivitasnya yang langsung berinteraksi dan disaksikan oleh publik. Maka memberikan keteladanan dalam membangun hubungan dengan orang lain, baik itu sesama pejabat, sesama politisi, maupun dengan rakyat biasa, adalah hal yang penting untuk diperhatikan.

Jangan pernah menampakkan dendam jika memang punya dendam. Jangan pernah menampakkan kebencian jika memang benci. Tutup rapat-rapat dalam relung hati masing-masing, dan tampilkan keharmonisan kepada publik. Agar demokrasi yang tengah tumbuh di negeri ini, tidak ternoda oleh dendam dan kebencian pribadi. Berat memang, tapi disanalah letak kenegarawanan kita akan diukur.

Cukuplah Bu Megawati dan Djarot yang menampilkan ketidakdewasaan itu. Tidak perlu lagi ada tokoh-tokoh lain yang melakukannya. Karena ini adalah aib bagi perjalanan sejarah bangsa kita. Saya sangat tidak nyaman dengan apa yang telah dilakukan oleh Bu Megawati dan Djarot itu. Walaupun sebenarnya, sampai hari ini saya masih tetap berharap agar Bu Megawati berkenan menghapus semua fakta negatif itu, dengan mengharmoniskan hubungannya dengan Pak SBY. Agar kedepan, tidak ada lagi pengulangan atas tindakan yang tidak dewasa itu. Karena semua rakyat pasti menginginkan situasi yang lebih sehat dalam panggung politik kita.

Oleh: Setiyono (Aktivis Pergerakan)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan