Jakarta, Aktual.com — Oran, sebuah kota yang tidak lebih dari pusat pemerintahan daerah tingkat satu Prancis di pantai Aljaizar, terguncang dengan tiga kata “ini telah terjadi”, yakni wabah sampar.

Penduduk kota yang tadinya suka berterus terang dalam tutur wicara, ramah, dan gesit dalam perilaku serta-merta terusik, kemudian terdiam lantaran wabah sampar.

Ya, wabah sampar, mengubah perilaku seluruh penduduk kota Oran, yang tadinya senasib sepenanggungan menjadi sibuk sendiri-sendiri menyelamatkan diri pribadi, yang tadinya sarat kemesraan dengan para suami dan para istri yang bersetia, kini justru ingin saling menjauh. Para lelaki yang tadinya dicap sebagai hidung belang berubah menjadi setia.

Drama wabah sampar mengguncang seluruh penduduk Oran, sebagaimana dicetuskan dalam sebuah novel berjudul La Peste yang ditulis sastrawan dan filosof kelahiran Prancis, Albert Camus, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Nh. Dini dengan judul Sampar.

Sebagai penderitaan yang tidak terperikan, wabah sampar membuat seluruh penduduk Oran tidak lagi memikirkan dan menoleh ke masa depan. Sampar merenggut nyawa sanak saudara, suami atau istri tercinta, buah hati terkasih, karena masa depan tinggal kenangan. Sampar menggenapi kredo bahwa setiap bayi yang lahir sudah berada di jalan kematian.

Bau kematian dilukiskan Camus sebagai fakta. Manusia menerima serentak menolak kematian karena “aku ingin hidup seribu tahun lagi”.

“Demikianlah masing-masing dari kami harus hidup hanya pada waktu sekarang, sendiri menghadapi takdir. Rasa pasrah yang merata itu mungkin bisa memperkuat batin… di puncak kesendirian itu, tak seorang pun bisa mengharapkan bantuan tetangga, lalu masing-masing memikul kesusahannya…,” tulis Camus yang lahir di Mondovi Aljazair pada tanggal 7 November 1913, dan wafat pada tanggal 4 Januari 1960 dalam kecelakaan mobil di antara kota Sen dan Paris di Prancis.

Kedatangan peristiwa kelahiran berbarengan dengan kedatangan kematian, pada akhirnya membawa rasa pasrah dan susah yang harus dipikul oleh masing-masing manusia. Di mata mahkamah kematian, manusia “terkutuk oleh waktu”. Saat kematian tiba, tidak ada seorang makhluk pun yang mengetahui dan memprediksi kematian. Semuanya serba absurd.

Yang absurd menyambangi setiap manusia ketika peristiwa lahir kemudian mati. Penderitaan dan penyakit yang datang silih berganti, kelahiran dan kematian yang pasti tiba, memunculkan satu pertanyaan: “Harus bagaimana manusia menghadapi realitas dunia yang serba absurd ini?” Jawabannya, dunia ternyata tidak mampu memenuhi keinginan dan harapan manusia. Begitu manusia bermegah dengan kemuliaan diri, serta-merta “yang absurd” (tanpa arti) datang menyambangi seraya berucap, berusahalah hidup bermodal pengharapan, tetapi jangan sesekali terjerembab dalam keputusasaan.

Oran terpapar sampar, dan dunia kini terpapar virus Zika dan ebola setahun lalu. Pemberitaan media massa global mengangkat satu kata, yakni Zika.

Dengan kegemparan dan kecemasan sebagaimana dialami penduduk Oran, kini 18 negara diliputi ketakutan. Virus Zika melanda Brasil, Barbados, Kolombia, Ekuador, El Salvador, French Guiana, Guatemala, Guyana, Haiti, Honduras, Martinique, Meksiko, Panama, Paraguay, Puerto Rico, Saint Martin, Suriname, dan Venezuela.

Virus Zika layaknya sampar, sama-sama mengakibatkan kematian. Organisasi kesehatan dunia (WHO) menyebutkan bahwa virus yang menyebabkan cacat lahir tersebut menyebar secepat kilat di Amerika dan menginfeksi empat juta manusia.

Virus Zika, menyebabkan bayi memiliki kepala abnormal, kecil, dan otak menyusut. Berdasarkan data tahun 2015, di Brasil ditemukan kasus Zika hingga ribuan temuan dengan 500 lebih kasus diderita oleh ibu hamil pada bulan Desember 2015.

Dari jumlah itu, ditemukan 150 kasus ibu hamil yang akhirnya melahirkan bayi dengan mikrosefalus. Menurut pemberitaan CNN secara total diperkirakan terjadi peningkatan bayi dengan mikrosefalus hingga 4.000-an kasus sepanjang tahun 2015 hingga Januari 2016.

Bagaimana dengan Indonesia? Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menemukan virus Zika di Indonesia pada tahun 2015. Deputi Direktur Eijkman Herawati Sudoyo mengatakan waktu itu Eijkman diminta meneliti sampel darah dari daerah endemi demam berdarah dengue di Jambi.

“Kami meneliti 200 sampel yang gejala klinisnya mirip demam berdarah. Namun, setelah diuji dengue, hasilnya negatif,” kata Hera di Jakarta, Selasa (2/2).

Dari 103 sampel yang diperiksa dan diteliti, satu di antaranya positif virus Zika. Menurut Hera, virus ini ditemukan pada sampel darah pasien lelaki berusia 27 tahun yang tidak pernah bepergian ke luar negeri.

“Jadi, sudah ada Zika di Indonesia,” katanya menegaskan.

Selain lembaga Eijkman, Namru pernah menemukan virus Zika di Indonesia pada tahun 1977-1978. Waktu itu, lembaga tersebut tengah meneliti sampel darah pasien dengan gejala klinis seperti demam berdarah dengue yang dirawat di Rumah Sakit Tegalyoso, Klaten, Jawa Tengah. Sampel darah tujuh pasien menunjukkan terinfeksi virus Zika.

Menurut laman resmi Departemen Kesehatan Indonesia, bahaya terbesar dari serangan virus Zika justru muncul pada ibu hamil. Ibu hamil yang positif memiliki virus tersebut besar kemungkinan bisa menularkan virus tersebut pada janin dalam kandungannya. Virus Zika akan menyerang jaringan otot dan sistem saraf, termasuk sistem saraf pusat di otak dari janin.

Dunia, termasuk Indonesia, sedang terpapar “yang absurd”, yakni virus Zika. Apakah dengan situasi tanpa arti ini, manusia sejagat bersama manusia Indonesia mengamini kredo bahwa begitulah kondisi manusia pada akhirnya? Lalu, manusia dituntut menerimanya? Di tengah sergapan yang absurd dalam situasi Oran sebagaimana ditulis Camus, dalam bayang-bayang ancaman virus Zika, tidak ada salto untuk menyerah tanpa harapan dengan menyembah seraya menyebutnya sebagai takdir atau nasib.

Camus menyarankan kepada manusia agar hidup dengan “berontak” (revolt), artinya berkonfrontasi terus-menerus dengan sumber kematian. Caranya, mencari asa penyebab penyakit tanpa harus mengulang-ulang rumusan usang bahwa semua itu sudah ditakdirkan atau dinasibkan.

Camus menulis, “… di tengah epidemi sampar, mereka mempertahankan ketidakpedulian yang menolong, yang bisa dianggap sebagai suatu ketenangan. Kesedihan menyelamatkan merekan dari kepanikan, itu artinya kemalangan mereka ada baiknya… dan dia tak mempunyai waktu untuk sesuatu pun.”

Artikel ini ditulis oleh:

Antara