Oleh: Ketua KODI DKI Jakarta, KH. Jamaluddin F Hasyim
Jakarta, aktual.com – Satu perkembangan yang menggembirakan adalah kini makin banyak muncul politik sukarela, politik swadaya, dan politik mandiri. Meski masih ada praktek politik biaya tinggi, dimana proses politik hanya dapat dilakukan dengan dukungan sponsor atau bandar. Politik sukarela (voluntary politics) justru merupakan antitesanya. Sejatinya ia bukan antitesa, seharusnya ia menjadi dasar semua praktik politik yang beradab.
Politik yang berangkat dari kesadaran nilai-nilai luhur untuk menciptakan kebaikan bagi semua. Politik, sebagai bentuk perilaku warga, harusnya memang bersifat sukarela, dalam arti tidak pamrih secara material, karena disitulah kehormatan seorang politisi dibangun. Ketika politik hanya didasarkan hubungan transaksional, maka politik tidak ubahnya pasar yang berisi pedagang yang mencari untung.
Saya sebut politik sukarela sebagai jatidiri politik, bangsa Indonesia sekian lama telah mewujudkannya dalam praktek politik mereka di masa lalu, khususnya era perjuangan kemerdekaan dan masa awal kemerdekaan hingga era 1970’an dimana partai-partai politik berbasis aliran dan ideologi. Dalam masa dimana ideologi begitu dominan, perjuangan politik dimaknai sebagai perjuangan ideologis, dimana setiap orang mengharapkan ideologinya yang menang sehingga mereka akan memperjuangkan dengan keringat, darah dan air mata, bahkan harta benda pribadi.
Alih-alih mencari untung dari politik, mereka justru membiayai politik mereka. Maka tidak heran di era ideologi itu masyarakat gegap gempita dalam berpolitik, mereka gotong royong dengan sesama pengikut ideologi yang sama untuk membiayai proses-proses politik seperti pemilu. Tidak ada yang mengharapkan sponsor, apalagi sampai tidak jalan akibat tidak ada sponsor seperti sekarang. Mereka cetak sendiri spanduk, poster dan media kampanye lainnya, juga mengongkosi sendiri untuk hadir dalam pertemuan politik. Saat itu virus materialisme belum dominan, yang menonjol justru semangat pengorbanan.
Bagaimana dengan saat ini? Sejak runtuhnya era ideologi, dimana dunia memasuki era kapitalisme sepenuhnya, perilaku politik menjadi sangat kapitalis. Dimulai oleh partai penguasa era Orde Baru yang mengenalkan “uang” dalam politik, lalu adanya “sponsor alias bandar” sebagai tokoh dibelakang proses-proses politik. Partai-partai politik kini tidak kental warna ideologisnya. Karenanya sulit membedakan misalnya Partai Golkar, Partai Demokrat atau Partai Gerindra. Semuanya nyaris sama garis ideologinya, yang membedakan hanya pemilik partai tersebut dan atributnya.
Berbeda dengan misalnya PDI-P, PKB ataupun PKS yang masih lebih kuat warna ideologisnya. Maka wajar jika ada yang nyinyir mengatakan partai-partai itu tidak lebih seperti toko yang menjual karir politik kepada siapapun. Tidak ada lagi seleksi ketat apa warna ideologi siapapun yang mendaftar. Semua bebas bergabung asal mau ikut aturan partai dan patuh kepada pimpinan yang adalah pemilik partai tersebut. Jaman dulu, sulit membayangkan seorang berideologi nasionalis bergabung ke partai Islam, atau seorang komunis bergabung ke partai nasionalis. Betul-betul tersaring dengan ideologinya.
Sudah lama, hampir lima dekade, sejak Orde Baru hingga era Reformasi saat ini politik berlangsung sangat transaksional. Semua seperti ingin ikut dalam arus ini, sangat sedikit yang masih “keukeuh” dengan ideologinya jika ingin berkarir di politik. Maka yang terjadi adalah kasta-kasta dalam politik kepartaian, dimana puncak tertinggi diisi oleh pemilik dan pengendali partai. Disamping itu ada juga disana pengusaha sebagai bandar partai tersebut. Dibawahnya adalah para “Korea”, istilah yang sekarang lagi viral, yang mengabdi sepenuhnya kepada kehendak pimpinan partai. Right or wrong is my Ketum, sehingga pernah ada ungkapan “jika Ketum saya bilang langit berwarna kuning, maka saya akan mengatakan yang sama”. Kebenaran menjadi relatif, tidak mutlak, hanya tergantung selera Ketum partai.
Pemilu 2024 ini nampaknya terjadi pergeseran dalam politik semacam itu. Masyarakat semakin muak dan ingin menjauhi politik transaksional, ketika mereka semakin sadar semua itu tidak membuat kehidupan mereka lebih baik, tapi hanya mensejahterakan elit politik yang selama ini mereka dukung. Problem hidup yang sulit jarang disentuh oleh elit karena mereka merasa telah “membeli” suara pemilihnya dengan rupiah dan sembako. Logika transaksional itu membuat elit berpikir buat apa memperjuangkan kebutuhan warga, toh mereka sudah dikasih saat pemilu.
Inilah, yang akhirnya menyadarkan mereka dan karenanya kini bergerak untuk keluar dari lingkaran setan itu. Mereka rela memberikan dukungan politik kepada figur yang tidak bertransaksi dengan mereka melalui lembaran rupiah dan sembako. Mereka butuh pemimpin yang otentik, berintegritas, yang tidak memandang rakyat sebagai obyek transaksi.
Maka muncullah kini fenomena politik sukarela (voluntary politics) dimana mereka seperti para generasi pendahulu era ideologi mengongkosi dirinya sendiri dan tidak berharap kepada siapapun. Mereka ingin mengembalikan kehormatan diri sebagai warga negara yang akan menyerahkan mandat politik mereka kepada figur yang mereka yakini bisa memperjuangkan hak dan kebutuhan mereka, dan mereka percaya figur-figur tersebut karena mereka tidak menerima lembaran rupiah dan sembako untuk dukungan itu. Mereka ingin “membeli” kembali kehormatan dan harga diri yang selama diremehkan oleh elit yang memandang mereka hanya sekumpulan orang yang berharap rupiah dan sembako. Kini mereka melawan, mereka bergerak, dan mereka menjemput perubahan.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain