Jakarta, Aktual.com – Seorang ibu di sebuah perkampungan di Lampung bercerita bahwa anak, mantu, dan cucunya baru saja kembali dari kota pada pekan lalu.
Mantunya–seorang laki-laki masih muda–bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta. “Dia baru kena PHK,” kata ibu itu tentang mantunya.
Kini mantunya mengolah ladang perkebunan dan sawah milik orang tuanya. “Lagi menanam ‘bonggol’ (singkong),” kata dia lagi.
Cerita ini hanya sekelumit dari cukup banyak korban PHK di perusahaan-perusahaan di kota yang kemudian pulang ke kampung. Wabah virus corona telah mendorong fenomena itu.
Sebagian korban PHK memilih meninggalkan kota tempatnya merantau lalu kembali ke kampung halaman. Di kampung, mereka menggarap lahan pekarangan/kebun atau sawah seperti pernah mereka dilakukan sebelum ke kota.
Dampak virus corona tipe baru (COVID-19) kini semakin terasa berat bagi tak sedikit orang. Dampak itu lebih terasa di daerah yang menjadi episentrum wabah seperti Jakarta.
Sebenarnya dampak ekonomi juga terasa di desa-desa, tetapi tak seberat warga perkotaan yang semua kebutuhan harus membeli. Bagi warga yang giat, banyak kebutuhan hidup di desa-desa bisa diperoleh dari pekarangan atau sawah sendiri.
Bagi yang giat, kerja keras sepadan dengan hasil walaupun daya serap pasar produk pertanian dan perkebunan juga sangat tergantung daya beli masyarakat kota. Dalam situasi daya beli yang belum pulih memilih jenis tanaman yang dibudidayakan harus tepat musim dan kebutuhan warga saat panen.
Sebaliknya, bagi yang kurang giat, beban hidup keluarga juga terasa berat karena beragam kebutuhannya harus membeli. Intinya, dalam situasi seperti ini adalah kerja keras!
Ironi
Sebagai negara agraris, wilayah-wilayah Indonesia adalah lahan subur bagi beragam tanaman pangan dan perkebunan. Tapi tak sedikit kebutuhan pangan yang justru masih diimpor.
Tak hanya sekali saja publik menerima informasi mengenai impor beras. Alasannya adalah menjaga stok.
Belum lama ini publik juga mendengar informasi dari media massa mengenai adanya impor sayuran. Selain mengejutkan, kabar itu tentu mengecewakan di tengah cukup banyak korban PHK kemudian balik kampung untuk menekuni pertanian.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 menyebutkan impor sayuran mencapai 770 juta dolar AS. Dengan kurs pekan ini di kisaran Rp14.500 per dolar AS, maka nilainya masih lebih Rp11 triliun.
Beragam tanaman buah-buahan bisa tumbuh subur di Indonesia dengan buah yang segar. Musim buah di negeri ini tidak pernah putus atau terhenti.
Tetapi data BPS juga menunjukkan bahwa tahun lalu buah impor dari negara lain mencapai sekitar Rp22 triliun.
Anggota Komisi IV DPR RI Akmal Pasluddin menyoroti hal tersebut. Saat ini pemerintah mendorong ekspor sayur-sayuran ke Jepang, namun buah dan sayur impor membanjiri pasar dalam negeri.
“Laporan para petani yang saya terima, saat ini sayuran impor seperti brokoli dan sawi telah marak di supermarket-supermarket,” kata Akmal Pasluddin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (27/7).
Hal itu dinilai sebagai ironi. Indonesia sangat berpotensi besar memenuhi pasar buah dan sayuran untuk Jepang, tapi untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri justru mengandalkan impor.
Akmal mengutarakan harapannya agar keluhan para petani dapat direspon secara baik dengan memperbaiki budidaya dan tata niaga pangan terutama sayur dan buah.
Pandemi ini adalah kesempatan untuk mengurangi impor pangan dan menguatkan seluruh daya guna meningkatkan kualitas dan kuantitas daya serap produk lokal. Banyak negara juga melakukan yang sama dan menahan produksinya demi mengantisipasi krisis pangan.
Beralih
Adanya impor bahan pangan menunjukkan bahwa ketahanan pangan nasional perlu mendapat perhatian serius. Salah satunya memperbaiki cara budidaya dan melahirkan petani-petani muda.
Sudah cukup lama tak sedikit anak muda di pedesaan tak tertarik dengan dunia pertanian. Mereka lebih tertarik ke kota mungkin melihat prospek pendapatan di kota dan kondisi pertanian; soal harga pascapanen dan tata niaga.
Budidaya pertanian saat ini memang menghadapi tantangan tidak ringan. Selain iklim dan cuaca serta hama, juga biaya dan peralatan.
Namun tantangan itu tentu bukan halangan untuk terus memperbaiki dunia pertanian. Tujuannya agar pertanian terus berkembang dengan munculnya petani-petani muda di tengah pandemi.
Kementerian Pertanian (Kementan) pun mengajak generasi milenial atau kaum muda untuk aktif menggeluti sektor agribisnis. Hal itu untuk mewujudkan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia.
Dalam dialog agribisnis di Kampus Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, beberapa hari lalu, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Kuntoro Boga Andri mengatakan, setiap tahun Indonesia kehilangan rumah tangga petani sekitar dua persen. Mereka beralih ke sektor lain di luar sektor pertanian.
Bahkan jumlah petani yang memilih hijrah ke pekerjaan di sektor lain lebih banyak dibanding angka anak muda yang memilih untuk menekuni usaha pertanian. Kalau terus dibiarkan, maka target pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada tahun 2045 bisa jadi hanya hayalan.
Dalam dialog bertema “Peluang Bisnis Generasi Milenial Pada Sektor Agribisnis” dia mengatakan, satu-satunya jalan mengatasi berkurangnya jumlah petani di Tanah Air, yakni mengajak kaum milenial turut aktif di sektor pertanian.
Pada 2035, sekitar 34 persen penduduk Indonesia adalah generasi milenial yang identik dengan generasi digital. Mereka dapat aktif berperan mempertahankan industri pertanian dengan memanfaatkan peluang-peluang bisnis yang dikombinasikan dengan teknologi saat ini.
Kementan hingga saat ini secara konsisten memberi insentif kepada kelompok tani maupun gabungan kelompok tani. Bantuan berupa sarana dan prasarana pertanian telah terintegrasi dalam program serta kegiatan-kegiatan Kementan.
Upaya ini untuk memberikan semangat kepada petani agar terus menjalankan atau tidak meninggalkan usaha budidaya pertanian sehingga alih fungsi lahan tidak terjadi.
Petani pun mendapat pendampingan dan berbagai bantuan input produksi serta jaminan harga sehingga lahan pertanian terus dijaga.
Penyelamat
Persoalan itu juga menjadi perhatian Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Himpi) . Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Hipmi, Mardani H Maming mendorong para pengusaha muda untuk menggarap bisnis sektor pertanian.
Bagi Hipmi, sektor pertanian memiliki potensi besar dan mampu menyelamatkan negara dari ancaman krisis perekonomian. Sektor pertanian adalah sektor utama yang paling bertahan dalam menghadapi pandemi virus corona (COVID-19).
“Sektor pertanian bisa kita seriuskan dengan mengajak anak muda masuk ke sana dan memaksimalkan program pemerintah,” katanya.
Perkembangan teknologi dan mesin pertanian begitu pesat. Hal itu membuat akses bisnis semakin terbuka lebar.
Di samping itu, peluang tersebut juga bisa dimanfaatkan masyarakat untuk menerapkan konsep “family farming”. Yakni menjadikan lahan sempit dan pekarangan rumah sebagai lahan perkebunan termasuk melalui budidaya hidroponik.
Seiring berjalannya waktu dengan berbagai teknologi yang ada, sebagian masyarakat perkotaan berinisiatif mengembangkan pertanian hidroponik. Di Jakarta, misalnya, belum lama ini ada Karang Taruna mengembangkan hidroponik yang produknya mampu menembus pasar modern.
Konsep hidroponik ini dinilai bisa diterapkan di kota-kota padat penduduk dengan memanfaatkan lahan sempit seperti halaman dan pekarangan rumah. “Saya kira inisiatif seperti ini sangat bagus dan perlu dikoneksikan serta dikolaborasikan dengan kebijakan yang tepat,” kata dia.
Teknologi
Sedangkan Wakil Ketua Umum BPP Hipmi, Anggawira berharap para petani di seluruh daerah mulai memanfaatkan perkembangan teknologi dan informasi yang ada untuk meningkatkan produksi.
Dengan teknologi dan informasi, para petani bisa langsung menjual hasil produksinya melaluiĀ marketplace. Inisiatif ini bisa dikembangkan.
Adanya fenomena korban PHK kembali ke kampung kemudian menggarap lahan pekarangan dan pertanian di tengah situasi saat ini menunjukkan minat terhadap sektor tersebut.
Hal itu selayaknya menjadi peluang untuk meningkatkan pembinaan lebih intensif dan terpadu agar sektor pertanian menjadi daya tarik dan bangkit di tangan petani-petani muda korban PHK. Harapannya tata niaga yang ada betul-betul berpihak kepada produk lokal.
Dengan demikian mereka mampu menghasilkan produk pertanian berkualitas yang tata niaganya mengutamakan produk lokal. Banyak yang mengakui petani sebetulnya mampu asalkan dibina secara terpadu dan mendapat perlindungan.
Agar triliunan rupiah tidak harus dibelanjakan ke luar negeri hanya untuk membeli brokoli, sawi dan sebagainya. (Antara)
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin