Sujumlah pemain Indonesia U-19 meluapkan kekecewaannya usai laga penyisihan grup Piala AFF U-19 melawan Myanmar U-19 di Stadion Patriot Candrabhaga, Bekasi, Jawa Barat, Minggu (10/7/2022). Meskipun menang dengan skor 5-1, Indonesia U-19 tetap tersingkir di ajang Piala AFF U-19. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.

Jakarta, Aktual.com – Setelah tersingkir dari Piala AFF U-19 karena kalah head to head dari Vietnam dan Thailand, muncul wacana agar Indonesia pindah dari AFF (federasi sepak bola Asia Tenggara) ke EAFF (federasi sepak bola Asia Timur).

Vietnam dan Thailand dianggap tidak sportif karena tak berusaha mencetak gol setelah sama-sama mencetak satu gol agar Indonesia yang menghadapi Myanmar dalam jam yang sama, tidak lolos ke semifinal turnamen U-19 itu.

PSSI lalu melayangkan nota protes kepada AFF beserta sejumlah bukti termasuk video pertandingan mereka dan ucapan pelatih fisik timnas U-19 Vietnam Le Cao Cuong bahwa Vietnam dan Thailand “berteman” selama 15 menit terakhir laga tersebut.

AFF belum menjawab nota protes itu. Tapi match-fixing di Asia Tenggara dan juga Asia lebih sering tak bisa dituntaskan. Tahun lalu saja, menurut Sportradar, ada 161 pertandingan olahraga di Asia, tidak cuma sepak bola, yang diduga match-fixing.

Indonesia tampaknya tak sabar menantikan tindak lanjut nota protes kepada AFF itu, sampai Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan mengaku sudah berkomunikasi dengan EAFF mengenai niat Indonesia pindah dari AFF.

“Mereka (EAFF) senang kalau kami bergabung ke sana. Namun, kami mesti menghitung terlebih dahulu,” kata Iriawan.

Tak ada yang salah dengan keinginan itu, apalagi jika didasari alasan agar mendapatkan zona yang lebih kompetitif demi meningkatkan kualitas sepak bola nasional.

Sekedar contoh, Australia melakukan langkah seperti ini ketika menyeberang dari Oseania ke Asia (AFC) pada 2006.

Australia memiliki liga sepak bola profesional yang kuat sehingga tim nasional yang terbentuk pun lumayan tangguh. Tetapi Oseania tak memberikan atmosfer kompetisi yang bisa menguji kekuatan Australia.

Karena atmosfer itu pula Australia sering tersisih dalam berebut tiket putaran final Piala Dunia melawan tim-tim benua Amerika.

Setiap juara zona Oseania selalu dipertemukan dengan tim benua Amerika guna memperebutkan satu tiket putaran final Piala Dunia.

Australia lebih sering kalah melawan tim benua Amerika itu karena Australia berada di “kelas” yang tidak kompetitif yang membuatnya tak siap menghadapi tim benua Amerika yang teruji oleh kompetisi yang ketat dan berkualitas.

Australia lalu berpaling ke AFC pada 2006. Sejak itu Australia menjadi lebih sering tampil dalam putaran final Piala Dunia. Dari total enam kali mengikuti Piala Dunia, empat di antaranya karena memegang tiket Asia.

Australia memang berusaha mencari cara teraman untuk lolos putaran final Piala Dunia, tetapi zona Asia juga ternyata lebih bisa menguji kekuatan Australia sehingga meningkatkan kualitasnya.

Buktinya tahun ini Australia mengalahkan tim Amerika Selatan, Peru, dalam playoff antarbenua untuk memperebutkan satu tiket putaran final Piala Dunia 2022.

Faktor geografis

Jika alasan Indonesia bergabung dengan EAFF juga demi mendapatkan atmosfer kompetisi lebih berkualitas seperti didapat Australia dari Asia, maka langkah pindah federasi mungkin tepat.

Asia Timur bukan zona sembarangan karena inilah wilayah Asia yang paling sering masuk putaran final Piala Dunia, selain Asia barat.

Dua negara Asia yang paling sering tampil dalam putaran final Piala Dunia berasal dari Asia Timur, yakni Korea Selatan 11 kali dan Jepang tujuh kali. Masih ada Korea Utara yang pernah dua kali mencapai Piala Dunia dan China satu kali.

Pun di tingkat Piala Asia. Jepang dan Korea Selatan juga dominan. Bersama Iran dan Arab Saudi dari Asia barat, mereka adalah tim-tim yang paling sering menjuarai Piala Asia.

Jepang sudah empat kali menjuarai Piala Asia, Korea Selatan dua kali, sedangkan Saudi dan Iran masing-masing tiga kali.

Demikian juga dalam Asian Games. Tim-tim Asia Timur juga dominan di sini. Myanmar menjadi satu-satunya tim Asia Tenggara yang merebut medali emas sepak bola Asian Games, pada 1966 dan 1970.

Dengan reguler bertanding melawan tim-tim seperti Jepang, Korea Selatan dan China, kualitas timnas Indonesia bisa semakin baik sehingga menjadi bekal bagus dalam menapaki level kompetisi internasional lainnya.

Asia Timur menawarkan atmosfer kompetisi lebih teruji karena sebagian diisi tim-tim berpengalaman tampil di level puncak.

Tapi ada aspek-aspek lain yang berpotensi menjadi masalah, salah satunya adalah faktor geografis yang bisa berakhir kepada aspek finansial dan kebugaran pemain.

Ini karena Asia Timur begitu jauh dari Indonesia. Wilayah terdekat Asia Timur seperti Hong Kong dan Taiwan tetap kalah jauh dibandingkan dengan wilayah paling jauh Asia Tenggara di Myanmar.

Dari perspektif geografis, Vietnam malah lebih masuk akal masuk zona Asia Timur. Kenyataannya hampir semua negara yang pindah federasi mempertimbangkan juga kedekatan geografis.

Dan seperti Afrika serta Amerika, negara-negara Asia tak saling berdekatan layaknya di Eropa di mana jarak tak terlalu bermasalah, apalagi benua biru itu memiliki fasilitas lengkap dan tingkat kesejahteraan relatif merata.

Yang pasti, hampir semua benua memiliki federasi regional. Namun keberadaan federasi regional ini tak menjamin bisa memupus ketimpangan kualitas sepak bola antar kawasan di satu benua.

Perkuat fair play

Di Afrika misalnya. Seperti juga Asia di mana wilayah barat dan timurnya lebih maju dunia sepak bolanya, Afrika juga begitu.

Di Afrika, bagian barat dan utaranya adalah dua kawasan yang paling sukses, termasuk dalam Piala Afrika dan putaran final Piala Dunia.

Di benua Amerika faktor jarak juga menjadi pertimbangan. Jarak tepi utara benua ini di Alaska sampai tepi selatannya di Argentina, adalah yang terjauh di dunia.

Jangan lupakan pula faktor budaya. Salah satu yang mempersatukan Amerika Selatan adalah kesamaan budaya sesama bekas koloni Portugal dan Spanyol.

Kedekatan geografi dan kultural membuat tim-tim Amerika Selatan lebih kerap bertemu satu sama lain ketimbang dengan tim-tim Amerika Utara.

Bukan hanya secara budaya berbeda dari Amerika Selatan, Amerika Utara juga baru serius menggeluti sepak bola profesional setelah Amerika Selatan lama mendominasi sepak bola global.

Keadaan di tiga benua itu berbeda dengan Eropa yang satu sama lain berdekatan. Ditambah iklim sepak bolanya yang kompetitif, bagian mana pun dari Eropa diisi oleh tim hebat.

Di utara, ada Denmark, Swedia, Belanda dan Belgia. Di tengah, ada Jerman. Di timur, ada Ceko, Rusia dan Polandia. Di barat, ada Inggris dan Prancis. Sedangkan di selatan, ada Portugal, Spanyol, Italia, dan Kroasia.

Oleh karena itu, jika tujuannya mencari zona lebih kompetitif, maka kepindahan Indonesia ke federasi Asia Timur adalah langkah yang tepat.

Sebaliknya, jika pertimbangannya emosi karena tersisih dalam sebuah turnamen akibat prilaku tim lain, maka bisa menjadi bumerang.

Lagi pula, sepak bola, dan olahraga pada umumnya, kadang juga menyangkut faktor di luar olah raga seperti persahabatan dan kedekatan emosi entah karena dekat secara geografis, kultural, atau historis.

Bagi Indonesia sendiri, Asia Tenggara sudah pasti lebih dekat secara geografis dan kultural dibandingkan dengan kawasan-kawasan Asia lain, termasuk Asia Timur.

Benar kompetisi di Asia Tenggara acap tidak fair, namun bergabung dengan federasi lain karena alasan di luar meningkatkan kualitas sepak bola nasional adalah tak terlalu bijak dan bisa memupuk sentimen negatif dari rekan satu kawasan.

Yang lebih dibutuhkan saat ini adalah mendorong AFF lebih meninggikan fair play dan menguatkan komisi disiplinnya dengan memberinya kekuasaan lebih besar dalam mengenakan sanksi kepada tim anti-fair play dan lebih independen dalam menginvestigasi pertandingan menjurus match-fixing.

Selain itu, mungkin harus ada mekanisme tambahan yang bisa memaksa semua pihak di Asia Tenggara memerangi match-fixing dalam semua bentuk di semua level kompetisi sepak bola.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Dede Eka Nurdiansyah