Jakarta, Aktual.com – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang menyoroti sejumlah masalah pertanahan hingga banyaknya pejabat ATR/BPN yang tersandung hukum. Disampaikan Junimart, banyak pejabat ATR/BPN daerah yang ketakutan untuk mengeluarkan sertifikat tanah meski sudah melakukan prosedur yang benar. Pasalnya, banyak yang pada akhirnya tetap tersangkut masalah apabila terjadi sengketa.
“Saudara menteri mungkin sudah tahu, kami ini getol ke daerah pak. Catatan saya pak, 78 pejabat BPN sekarang sedang bermasalah hukum pak. Saya pelajari pak, ada dalam proses penyelidikan. Ada proses penyelidikan, yang sudah jadi tersangka, ada dalam proses persidangan, ada juga yang sudah diputuskan bersalah,” kata Junimart dalam Rapat Kerja Komisi II dengan Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Senin (25/3).
“Ada proses penyelidikan, yang sudah jadi tersangka, ada dalam proses persidangan, ada juga yang sudah diputuskan bersalah,” ujar junimart.
Di sisi lain, kata Politisi PDI-Perjuangan ini, anggaran untuk membantu menyelesaikan masalah sengketa tanah ini juga terbilang kecil. Berdasarkan informasi yang diperolehnya dari catatan Kementerian ATR/BPN, anggaran hanya cukup untuk membantu menyelesaikan 60 kasus, sementara setiap tahunnya terjadi setidaknya 1.000 kasus sengketa.
“Jadi penegakan hukum ke luar itu bisa berjalan ketika semua teman-teman yang mulai dari kementerian sampai ke bawah betul-betul kita jamin hak hukumnya. Caranya? Anggarannya pak, percuma kita bicara kalau anggaran minim sekali. 60 saja yang bisa di-cover untuk sengketa ketika BPN digugat,” kata Junimart.
Oleh karena itu, menurutnya sebelum menangani masalah mafia tanah, alangkah lebih baik jika pembelaan terhadap rekan-rekan ATR/BPN. Sebelum hal ini teratasi, menurutnya rasa ketakutan para (kepala kantor pertanahan wilayah (kakanwil) dan kepala kantor pertanahan (katantah) setempat masih akan melingkupi.
“Kakantah dia berbuat benar dan dia buat sertifikat berlandaskan surat bupati, surat keterangan camat, saksi kepala desa, surat lainnya. Ketika sudah dibuat sertifikat, (jadi) tersangka pak. Jadi kalau kita bicara semangat pemberantasan, selesaikan dulu di dalam, bikin dulu nyaman di dalam. Sehingga sertifikasi itu bisa betul-betul mereka lakukan tanda tangan secara nyaman dan suka cita. Tidak gampang pak dipertanahan,” sambungnya.
Junimart menilai, sumber dari masalah pertanahan ini ialah tumpang tindih tanah, termasuk di dalam Program Pendaftaran Tanah Sistem Lengkap (PTSL) itu sendiri. Menurutnya, program tersebut dominannya bermasalah.
“Mohon maaf pak, kita jangan bangga dengan PTSL. PTSL itu dominan bermasalah pak. Kenapa? tumpang tindih. Kenapa PTSL gampang (bermasalah)? Mengejar target pak. Demi untuk mengejar target terbitkan PTSL, ternyata tumpang tindih. Bukti sama kami ada semua pak. Dengan masalah itu, panggil kepala kantornya pak, lakukan penyelidikan tersangka,” kata Junimart.
Menurutnya, dari sisi regulasi pun demikian. Ada sejumlah aturan yang tumpang tindih sehingga menjadi celah bagi munculnya para mafia tanah ini. Beberapa di antaranya ialah Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 tahun 2021 pasal 64. Kemudian Peraturan Menteri (Permen) No. 21 tahun 2020.
Artikel ini ditulis oleh:
Arie Saputra