Jambi, Aktual.com — Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi menyebutkan, sekitar 80 persen lokasi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Provinsi Jambi terjadi di kawasan konsesi perusahaan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI).
“Dari data yang kami kumpulkan sepanjang 2015, titik api selalu berada di kawasan konsesi dan polanya selalu sama, muncul di konsesi perusahaan sawit dan HTI,” kata Manager Advokasi Walhi Jambi, Rudiansyah, di Jambi, Minggu (6/9).
Dia menjelaskan, dari pantauan melalui satelit dan juga dari sejumlah kajian, bahwa titik api yang tersebar di wilayah Jambi berada di konsesi perusahaan seperti di Kabupaten Tebo yang relatif terjadi di HTI perusahaan PT LAJ, PT TMA serta WKS.
“Dan juga lahan gambut seperti di Kabupaten Muarojambi setiap musim kemarau selalu kebakaran dan itu di konsesi perusahaan yang berada di kawasan gambut dan setiap musim pola kebakarannya selalu sama,” katanya.
Menurut dia, harus ada upaya konkret dalam menangani kebakaran tersebut. Walhi mengusulkan beberapa strategi yaitu akan melakukan gugatan kepada pemegang izin dan pemerintah.
Langkah konkret tersebut yaitu menggugat perusahaan yang melakukan pembakaran hutan dan juga menggugat pemerintah yaitu dengan melakukan gugatan melalui skema kelompok atau “class action”.
“Secara organsisasi, Walhi melakukan gugatan dengan skema ‘legal standing’, karena upaya membagikan masker malah bukan solusi dan itu sifatnya hanya stimulan,” katanya.
Gugatan tersebut, lanjutnya, akan dilakukan kepada dua institusi yaitu pemerintah dan perusahaan. Pemerintah dan pemegang izin harus bertanggung jawab.
“Masyarakat juga membakar lahan, tapi tidak luas dan bahkan mereka punya cara tersendiri serta masyarakat tidak mempunyai lahan seluas perusahaan sawit dan HTI, dan juga sampai saat ini belum ada korporasi yang diproses hukum,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Jambi, Musri Nauli, mengatakan, satu per empat wilayah Jambi dikuasai oleh pihak korporasi, di mana 600 ribu hektare untuk perkebunan sawit dan 800 ribu hektare lainnya untuk konsesi hutan tanaman industri.
Persoalan tersebut, menurut Nauli, sangat mungkin untuk dibawa ke ranah hukum, apalagi masyarakat punya undang-undang yang mendukung untuk melakukan tuntutan kepada yang bertanggungjawab, baik itu perusahaan yang ada di zona kebakaran dan negara.
“Seperti UU Nomor 41/1999 yang isinya pemegang hak atau izin bertanggungjawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.
Selain itu juga ada turunannya di PP no 4/2001 dan PP 45/2014 pasal 8 ayat 1,” katanya.
Musri menarik kisah panjang kabut asap di Provinsi Jambi dari tahun 1997, di mana periode 1997 kebakaran terjadi lima tahun sekali, kemudian pada tahun 2006 sampai 2010 kebakaran atau kabut asap terjadi tiap dua tahun sekali.
“Dan saat ini mulai rutin, dari tahun 2010 sampai 2015, kabut asap selalu terjadi setiap satu tahun sekali,” katanya.
Dia juga menjelaskan, selama ini pola kebakaran hutan di Jambi selalu sama seperti itu dari tahun ke tahun, selalu di kawasan gambut dan di izin konsesi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI).
Musri mengatakan, pihaknya menduga kebakaran hutan dan lahan tersebut disengaja agar perusahaan mendapatkan asuransi.
“Tim dari Walhi saat ini tengah mempelajari itu. Ini bisa saja modus dari perusahaan dan setelah itu kita akan melakukan gugatan,” katanya.
Dia menambahkan, apabila memang perusahaan tersebut melakukan tindakan membakar hutan dan lahan di areal konsesinya, pemerintah dan aparat penegak hukum harus segera bertindak.
Artikel ini ditulis oleh: