Foto udara kawasan reklamasi di Teluk Jakarta, Rabu (11/5). Pemerintah telah memutuskan moratorium reklamasi Teluk Jakarta hingga enam bulan mendatang sambil membuat rencana induk holistik, terperinci dan mendalam terkait proyek pembangunan Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (National Capital Integrated Coastal Development/NCICD) atau Proyek Garuda yang lebih dikenal dengan nama tanggul laut raksasa. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/ama/16.

Jakarta, Aktual.com – Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI, Moestaqim Dahlan menilai penggunaan kata reklamasi pada pembangunan 17 pulau buatan di Teluk Jakarta tidak tepat.

Sebab reklamasi sejatinya merupakan upaya penyelamatan suatu wilayah yang sebelumnya rusak, baik akibat abrasi ataupun bekas eksplorasi tambang. “Kalau sekarang reklamasi ini disebutkan di Jakarta. Pertanyaannya, apa yang direklamasi?” ujar dia saat dihubungi di Jakarta, Minggu (15/5).

Kalaupun memang megaproyek tersebut dilakukan demi mengantisipasi banjir di ibu kota, langkah itu tidak tepat. Sebab seharusnya yang dilakukan adalah revitalisasi 13 sungai yang mengalir melalui Jakarta. “Bukan (sungainya) diturap, dibeton. Muaranya jangan ditutup, diuruk. Seharusnya, sedimentasi yang sudah dalam dikeruk,” bebernya.

Keberadaan megaproyek 17 belas pulau buatan yang dibuat di Teluk Jakarta justru malah berpotensi memperparah area banjir Jakarta. “Karena (aliran) dari 13 sungai ke laut terhambat. Air pasang juga begitu, akan meluap,” katanya mengingatkan.

Proyek tanggul sepanjang 32 km (Giant Sea Wall) yang berdiri di pesisir Timur hingga Barat Jakarta, juga tidak tepat guna. Selain itu juga mengancam keberadaan hutan mangrove yang bermanfaat untuk menahan abrasi hingga menyerap limbah.

“Yang benar (dengan adanya reklamasi), mereka (pengembang) sedang mencari tanah-tanah murah, merampas hak-hak nelayan, karena beli 100 perak dan dijual bermiliar-miliar harganya,” papar ketua Tim Hukum Kelompok Silaturahim Kumpul Bareng Anak Tenabang (Sikumbang) ini.

Artikel ini ditulis oleh: