Yogyakarta, Aktual.com – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai rencana pembangunan Bandara Kulonprogo seluas 650 hektar, dinilai merupakan proyek ambisius Pemprov DI Yogyakarta.
Direktur Walhi Yogyakarta, Halik Sandera berpendapat demikian lantaran kawasan Temon yang terletak di pesisir pantai selatan, jelas merupakan kawasan rawan gempa dan tsunami. Tiap pembangunan yang dilakukan di wilayah Temon sebagai area rawan bencana harus terbatas atau dibatasi.
“Jadi seharusnya pembangunan yang dilakukan tidak boleh merubah bentang alam yang ada seperti proyek Bandara ini,” ujar Halik kepada Aktual.com, di Yogyakarta, Senin (25/4).
Kawasan Temon, ujar dia, sesungguhnya diarahkan sebagai wilayah budidaya pertanian. Sedangkan New Yogyakarta International Airport menargetkan kapasitas penumpang hingga 15 juta orang per tahun. Menampung sekitar 41 ribu penumpang per hari dengan pergerakan pesawat sekitar 300 penerbangan per hari.
Jumlah tersebut, menurut Halik, justru menjadi jumlah potensi jatuhnya korban jiwa ketika bencana alam seperti gempa maupun tsunami terjadi. Perancang bandara, kata dia, hanya bisa memperkirakan. Tapi tidak ada bangunan itu yang tahan gempa. Jika sudah terjadi gempa, maka infrastruktur yang dibangun akan sia-sia.
“Termasuk jika tsunami terjadi, potensi material yang terbawa laju air akan semakin banyak sehingga dapat memperparah potensi kerusakan bangunan juga korban jiwa,” ujar Halik.
Kembali Halik mengingatkan, peningkatan aktivitas manusia yang diarahkan ke pembangunan atau pemukiman harus benar-benar dikendalikan. Semakin bertambahnya kepadatan dan aktivitas pemukiman di wilayah Temon akan bertentangan dengan mekanisme pengurangan resiko bencana alam di wilayah tersebut.
Ground breaking proyek Bandara yang rencananya dimulai pada 1 Mei 2016 ini menurutnya hanya memaksakan kehendak investasi ketimbang mengakomodasi pengembangan sektor pertanian warga yang selama berpuluh tahun telah menjadi sumber penghidupan.
Di lain sisi, pembangunan Bandara Kulonprogo sendiri tidak pernah terdapat dalam Rencana Tata Ruang Nasional (UU No 26/2007) yang menjadi acuan dasar. Terlebih, IPL pembangunan Bandara pun tidak disertai dengan dokumen Amdal.
“Investasi skala besar yang mengancam ruang-ruang hidup warga memang sangat luar biasa, bukan hanya di Yogya, Jakarta-Bandung dengan kereta api cepatnya memperlihatkan bagaimana investasi skala besar ini menghilangkan ruang-ruang sumber penghidupan warga,” kecam Halik.
Apa yang disampaikan Halik bukan isapan jempol belaka. Badan Penanggulangan Bencana Daerah DIY sendiri mengkategorikan wilayah pesisir ini ke dalam Zona Merah, artinya zona dengan resiko tinggi bencana alam. Daerah pesisir pantai Kulonprogo termasuk Bantul merupakan zona dataran rendah, artinya batas permukaan air laut lebih tinggi dari daratan.
Seperti diungkap Manajer Pusat Pengendali Operasi BPDB DIY, Danang Samsurizal, Sabtu (23/4), bahwa laju tsunami dari wilayah pesisir Kulonprogo bisa mencapai 3 hingga 5 kilometer dari bibir pantai dengan ketinggian air hingga 30 meter.
Artikel ini ditulis oleh:
Nelson Nafis