Jakarta, Aktual.co —Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) berharap Presiden Joko Widodo memerkuat perlindungan dan pemberdayaan petani setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan Judicial Review Undang Undang Nomor 19 Tahun 2013 yang mengatur tentang hal itu.
“Salah satu masalah mendasar dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia adalah lemahnya perlindungan dan pemberdayaan petani. Konsekuensi buruknya adalah konflik agraria di pelbagai daerah dan semakin merosotnya produktivitas, penghidupan, dan kebebasan petani dalam berorganisasi,” kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Walhi di Jakarta, Jumat (7/11).
Putusan MK ini menurut dia dapat menjadi pijakan Presiden memerkuat perlindungan dan pemberdayaan petani, dan menghindarkan petani dari hubungan produksi yang merugikan dan bertentangan dengan konstitusi, seperti sewa menyewa tanah oleh negara, serta pengekangan hak demokratis petani.
“Perlindungan dan pemberdayaan petani tentunya akan menjadi aspek penting untuk menjamin tercapainya kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani di Indonesia,” ungkapnya.
Dia menilai arti penting utusan MK (putusan No.87/PUU-XI/2013) yaitu pertama, frasa hak sewa dalam pasal 59 UU Nomor 19 Tahun 2013 Perlindungan dan Pemberdayaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebab menurut dia, hubungan sewa menyewa tanah yang dilakukan negara merupakan praktik feodal di masa kolonial Hindia Belanda dan sudah semestinya dihentikan.
Selanjutnya, pasal 70 ayat 1 mengenai kelembagaan petani dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani.
“Dengan demikian tidak hanya kelompok tani (Poktan) dan gabungan kelompok tani (Gapoktan) saja yang diakui oleh negara, namun juga organisasi atau kelompok tani yang dibentuk dan didirikan oleh petani juga harus diakuin,” katanya.
Sedangkan pasal 71 tentang kata berkewajiban juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Selengkapnya menjadi petani bergabung dan berperan aktif dalam kelembagaan petani sebagaimana dimaksud dalam pasal 70 ayat 1. Oleh karena itu petani tidak berkewajiban ikut Poktan dan Gapoktan, dan boleh menjadi anggota organisasi tani yang dibentuk dan didirikan oleh petani sendiri,” katanya.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Judicial Review atas Undang undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Putusan ini diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi Rabu (5/11) atas permohonan judicial review Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Walhi, Sekretariat Bina Desa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI), FIELDS, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid