Jakarta, Aktual.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menginginkan pemerintah dapat mengoreksi paradigma pembangunan terhadap target penurunan emisi karbon terutama yang terkait dengan pemberian ruang lebar bagi keterlibatan korporasi.
“Keadilan iklim tidak akan terwujud jika upaya yang dilakukan merupakan solusi palsu dan tidak menjawab persoalan mendasar dari perubahan iklim itu sendiri, yakni paradigma pembangunan yang salah,” kata Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi Yuyun Harmono, Sabtu (14/10).
Menurut dia, paradigma yang salah itu adalah masih menempatkan skema pengurangan emisi karbon hutan (REDD) sebagai solusi deforestasi dan degradasi lahan.
Selain itu, ujar Yuyun Harmono, kekeliruan lainnya adalah masih melibatkan korporasi perkebunan kayu (HTI) dalam upaya penurunan degradasi lahan.
Sementara upaya menghentikan industri batubara dan beralih ke energi terbarukan, lanjutnya, masih tampak tidak dilakukan dengan nyata.
“Hutan untuk rakyat yang digadang-gadang oleh pemerintah dalam program nawacita Presiden dalam pandangan Walhi memiliki relevansi yang kuat untuk mendorong percepatan pengakuan wilayah kelola rakyat, di mana rakyat sebagai pelaku utamanya dengan berbagai pengetahuan dan kearifan lokal yang dimilikinya,” katanya.
Ia berpendapat bahwa wilayah kelola rakyat diyakini adalah bagian dari upaya negara melindungi dari ancaman gempuran industri ekstraktif.
Penerapan wilayah kelola rakyat dengan pendekatan utuh melalui tata kuasa, tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi juga diyakini bakal meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi masyarakat, menyelesaikan konflik, memulihkan hutan, dan bagian dari menangani dampak perubahan iklim.
Sebagaimana diwartakan, Walhi juga menyoroti kebijakan pemerintah daerah yang menggunakan pendekatan proyek penurunan emisi dengan skema pengurangan emisi karbon hutan (REDD) dinilai tidak akan menuntaskan persoalan sektor kehutanan.
“Berdasarkan kajian Walhi terhadap kebijakan pembangunan jangka menengah di lima provinsi di Indonesia, ditemukan bahwa banyak daerah belum mengintegrasikan pembangunan rendah karbon dalam perencanaan jangka menengah daerah tersebut,” kata Yuyun Harmono.
Menurut dia, pemerintah daerah cenderung menghindari penurunan emisi terutama di sektor berbasis lahan dan energi dan lebih memilih penurunan emisi sektor lain.
Selain itu, lanjutnya, meski telah ada kebijakan moratorium Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, dalam tataran implementasi masih terjadi pelepasan kawasan hutan melalui mekanisme permohonan langsung oleh korporasi.
Sebelumnya terkait sektor kehutanan, Wakil Ketua Komisi VI DPR Azam Azman Natawijana mengapresiasi program Perhutanan Sosial guna membuat hutan nasional lebih produktif serta meningkatkan kesejahteraan warga di sekitarnya, tetapi menegaskan bahwa program itu perlu pengawasan.
“Adanya kebijakan ini bagus, asalkan pelaksanaannya disertai dengan pengawasan dan pengendaliannya,” kata Azam Azman.
Politisi Partai Demokrat itu mencontohkan, jangan sampai hak atas lahan dalam program itu beralih dengan berbagai macam cara yang tidak benar, terlebih dalam regulasi terkait disebutkan diberikan selama 35 tahun dan bisa diwariskan.
ANT
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan