Jakarta, Aktual.co —Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) meminta pengesahan Raperda Lingkungan di Kalimantan Tengah dihentikan, karena keberadaannya bisa memperparah kondisi lingkungan, sebab tujuan adanya peraturan itu hanya mendorong pengerusakan lingkungan secara besar-besaran.
Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar WALHI, Zenzi Suhadi, di Jakarta, Rabu mengatakan, dalam Raperda itu terdapat nomenklatur pembagian ruang terbatas pada pola kawasan lindung dan kawasan budidaya, serta membuka ruang yang luas kepada sektor swasta.
“Dalam Raperda ini memang ada perlindungan terhadap wilayah adat, sosial dan budaya, namun yang menjadi ganjil ketika yang menjadi subyek dalam perlindungan itu justru pemerintah, seharusnya adalah hukum adat,” katanya.
Zenzi mengatakan, Raperda seharusnya memberi peluang kepada rakyat untuk membangun perlindungan fungsi kawasan lindung.
“Raperda ini salah orientasi, sebab pada pasal 69 tentang hak rakyat untuk mengelola, melindungi dan menjadi subyek terhadap wilayahnya dikaburkan oleh mainstream orientasi yang memprioritaskan jaminan pengembangan dan eksistensi sektor industri,” katanya.
Ia menjelaskan, hak rakyat atau adat dipersempit pada kesempatan ganti rugi, menyampaikan keberatan, gugatan dan tuntutan ganti rugi. Artinya, tidak ada pilihan bagi rakyat untuk tidak menerima masuknya sektor swasta.
Oleh karena itu, ia meminta proses pengesahan Raperda dihentikan sampai terjadi perubahan yang mendasar pada pokok orientasi dan targetnya, yakni wajib memprioritaskan jaminan keselamatan lingkungan dan perlindungan wilayah kelola rakyat.
Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, Arie Rompas mengatakan, substansi Raperda ini tidak prorakyat, sebab tujuannya berorientasi menjadikan wilayah Kalimantan Tengah sebagai wilayah perkebunan monokultur dan lumbung energi.
“Dalam Raperda ini selain memfasilitasi akses sektor swasta dalam bahasa Agroindustri dan Abribisnis juga mengakomodir Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), seperti pembangunan rel kereta api khusus batu bara, pelabuhan dan jalan darat untuk memfasilitasi kebutuhan infrastruktur sektor perkebunan dan tambang skala besar,” katanya.
Hal ini, kata Arie berisiko terhadap semakin menyempitnya ruang kelola rakyat, dan menambah kerusakan lingkungan yang berujung pada bencana ekologi yang tidak terpulihkan.
“Seharusnya keberadaan Raperda didorong untuk menjadi solusi, bukan membuat kondisi kerusakan lingkungan yang melampaui batas, sehingga bisa menimbulkan konflik lahan yang marak,” katanya.
Sementara itu, proses pengesahan Raperda kini berada di DPRD Kalteng, dan hanya tinggal menunggu persetujuan mayoritas anggota dewan wilayah setempat.
Artikel ini ditulis oleh:
Editor: Andy Abdul Hamid