Jakarta, Aktual.com — Pemerhati energi ramah lingkungan, Tri Mumpuni menilai usulan pembentukan BUMN khusus untuk mengelola energi panas bumi (geothermal) tidak perlu karena selain berpotensi menambah rantai birokrasi, juga berpeluang menciptakan pemburu rente yang mengeruk keuntungan pribadi.
“Tidak usahlah dibentuk BUMN khusus. Serahkan saja kepada Pertamina,” kata Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) itu di Jakarta, Senin (24/8).
Dalam pandangan Tri, Pertamina memiliki kemampuan dan pengalaman yang cukup untuk mengelola 29.000 MW panas bumi yang ada di Indonesia. Terlebih, karena Pertamina juga didukung sumber daya manusia (SDM ) yang andal.
“Pertamina sangat bisa. Masa sih hanya 29.000 MW harus dengan BUMN khusus. PLN saja bisa menangani lebih dari 50.000 MW installed capacity,” kata Tri, yang kerap dijuluki “wanita listrik” tersebut.
Kekhawatiran Tri terhadap usulan pembentukan BUMN khusus yang menangani energi panas bumi, tentu bukan tanpa alasan. Kekhawatiran tersebut sama, seperti saat Ditjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, kali pertama dibentuk.
Ketika itu, lanjutnya, semua memiliki harapan yang besar bahwa Ditjen tersebut akan menjadi “leader”, baik dari segi kebijakan maupun regulasi. Tetapi nyatanya, pembentukannya justru menambah rantai birokrasi. Sedangkan dari sisi kinerja, tak ada yang istimewa.
“Makanya, kalau memang tidak efektif, efisien, dan hanya memperbanyak birokasi, lebih baik BUMN khusus tidak usah dibentuk,” katanya.
Menurut Tri, yang menjadi persoalan memang bukan wadahnya, yakni apakah BUMN khusus atau bukan. Yang juga menjadi akar kendala, lanjutnya, adalah regulasi dan perizinan seperti yang selama ini terjadi. Dan hal itu, disebabkan kurangnya sinergi antara kementerian terkait. Sebut saja antara Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kurangnya sinergi, lanjut Tri, karena selama ini memang kurangnya pemahaman bahwa pengelolaan geothermal dianggap bisa merusak lingkungan dan konservasi. Padahal, lanjutnya, panas bumi tidak seperti batu bara yang bisa merusak lingkungan kalau tidak dikelola dengan baik.
Pentingnya regulasi juga diakui Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Abadi Poernomo mengingat peran pemerintah dalam mengatur bisnis panas bumi, memang sangat besar. “Lihat saja, harga ditentukan pemerintah, semua perizinan diberikan oleh pemerintah. Karena ini sifatnya izin dan bukan PSC,” kata Abadi.
Itu sebabnya, regulasi yang dibuat Pemerintah harus bisa diaplikasikan dan diterima pelaku usaha. Jika terdapat aturan yang menghambat, tentu akan mempengaruhi minat investasi di sektor ini. “Sebut saja proyek sudah jalan. Tetapi jika di tengah jalan terdapat aturan dari Kementerian lain masuk, inilah yang menghambat,” lanjutnya.
Artikel ini ditulis oleh: