Jakarta, Aktual.com — Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan subsidi hanya sekitar sembilan persen dari anggaran yang terdapat dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2016.
“Subsidi tahun depan kira-kira hanya 9-10 persen (dari anggaran pemerintah),” kata Jusuf Kalla dalam acara Arahan dan Dialog dengan Wapres di Gedung Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jakarta, Rabu (29/7).
Dalam paparan Wapres disebutkan total subsidi mencapai sekitar sembilan persen dari RAPBN 2016. Jumlah tersebut terbagi atas tiga persen subsidi BBM, dua persen subsidi listrik, dan empat persen subsidi nonenergi.
Selain itu, berdasarkan amanat konstitusi/UUD 1945 dan UU 36/2009 tentang Kesehatan didapatkan pembagian yaitu pengeluaran pendidikan 20 persen dan kesehatan 5 persen dari RAPBN.
Sedangkan total anggaran terikat (non-diskresi) mencapai 81 persen dari RAPBN 2016. Dengan demikian, kendati RAPBN 2016 mencapai Rp2.095 triliun, tetapi 81 persen dari anggaran merupakan anggaran terikat (non-diskresi), sehingga Pemerintah Pusat hanya mempunyai diskresi terhadap sekitar 19 persen atau sekitar Rp398 triliun.
Untuk itu, dalam acara bertajuk “Sinkronisasi Perencanaan dan Penganggaran dalam rangka Pengendalian Pembangunan” itu, Wapres mengemukakan bahwa kecermatan dan ketepatan dalam implementasi anggaran merupakan kunci sukses peran APBN dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sebelumnya, wacana perubahan subsidi listrik yang dicetuskan PLN dinilai tidak tepat karena sama saja mengurangi alokasi anggaran subsidi dalam APBN, kata analis Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Dani Setiawan.
“Kebijakan ini tentu tidak tepat. Pertama, secara ekonomi pengurangan-pengurangan subsidi akan menurunkan daya saing nasional, terutama dalam menghadapi liberalisasi perdagangan yang kian agresif,” kata Dani Setiawan kepada Antara di Jakarta, Kamis (23/7).
Ia juga mengingatkan bahwa subsidi energi termasuk listrik merupakan komponen penting untuk mempertahankan keberadaan sektor koperasi, usaha mikro dan usaha kecil menengah yang selama ini jadi penopang perekonomian nasional.
“Kedua, energi adalah kebutuhan primer masyarakat. Dan subsidi adalah hak rakyat. Pengalihan bentuk penyaluran subsidi melalui kartu adalah tindakan diskriminatif terhadap rakyat,” ujarnya dan menambahkan, sebabnya adalah pengelolaan listrik yang masih tidak efisien sehingga seharusnya tidak dibebankan kepada rakyat.
Sedangkan ketiga, Dani mencurigai bahwa rencana kebijakan ini merupakan bentuk “prakondisi” menuju liberalisasi sektor listrik yang didorong oleh kepentingan investor asing dan konglomerat nasional yang bermain di sektor penyediaan listrik.
Sebelumnya, Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir mengemukakan bahwa pihaknya ingin agar subsidi terkait dengan listrik diberikan langsung kepada orang miskin melalui program kartu bagi orang miskin yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah.
“Ke depan kami meminta pemerintah untuk memberikan subsidi dengan dibayar langsung oleh Pemerintah sesuai dengan jumlah orang miskin yang ada di data pemerintah,” kata Sofyan Basir, usai mengikuti rapat kelistrikan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (14/7).
Dengan demikian, menurut Sofyan, pada tahun 2016 diharapkan subsidi listrik tidak melalui pihak PLN, tetapi dimasukkan langsung kepada kartu bagi orang miskin.
Bila hal itu diterapkan, kata Dirut PLN Sofyan Basir, beban subsidi listrik dinilai dapat berkurang hingga sekitar Rp20 triliun-Rp30 triliun per tahun. Selama ini, subsidi diberikan kepada pemakai listrik 450 watt dan 900 watt dinilai tidak efektif karena terbukti tidak mengena seluruhnya kepada orang miskin.
Sofyan mengingatkan bahwa jumlah orang miskin sesuai dengan data pemerintah adalah sekitar 15 juta orang. Akan tetapi, ada 44 juta orang yang memakai saluran listrik bersubsidi.
“Ini tidak baik dan tidak mendidik bagi masyarakat,” tukasnya.
Artikel ini ditulis oleh: