Jakarta, Aktual.com — “Pada pukul 02.00 WIB, kami akan mengadakan acara selamatan daun padi. Yang ingin menyaksikan silakan datang ke rumah betang,” kata Bahen, warga Dusun Sungkup, sambil menyeruput teh hangat dari gelas kaleng kecilnya.

Untuk para pendatang, undangan ini sedikit mengejutkan. Lelah perjalanan jauh dari Kota Sintang, dengan waktu tempuh sekitar 5 jam melalui jalanan yang jauh dari kata mulus, masih belum hilang.

Saat itu jam sudah menunjuk pukul 23.00 WIB. Dua jam sebelumnya dihabiskan dengan tradisi “potong ompong”, ritual adat penyambutan tamu dengan menebas bambu atau yang disebut ompong oleh penduduk setempat. Hati mulai meronta, bukankah lebih enak istirahat saja? “Ini adalah upacara sekali dalam setahun,” tambah Bahen tanpa dikomando. Mendengar itu, semangat entah datang dari mana.

Sekali setahun! Para tamu yang datang dari Jakarta dan Pontianak belum tentu bisa menyaksikannya kembali tahun depan.

Tangan-tangan yang tadi sempat berhenti, kemudian mengerayangi kembali kue-kue tradisional yang disuguhkan Bahen, serta warga Dusun Sungkup lainnya. Ada kue lulun, kudapan lunak terbuat dari beras ketan berisi kelapa berwarna hijau, juga gorengan ketan yang disebut rompo, kembang loyang ditambah rengginang. Tak ketinggalan, kopi dan teh hangat yang dituang dalam gelas kaleng kecil-kecil.

Dusun atau Kampung Sungkup sendiri terletak di Desa Belaban Ella, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Penduduknya merupakan Suku Dayak dari dua subsuku, yaitu Limbai dan Ransa Untuk mencapai daerah tersebut, bila berpatokan dari Pontianak sebagai Ibu Kota Provinsi, bisa ditempuh melalui jalan darat. Lamanya perjalanan dari Pontianak ke Sungkup adalah sekitar 12 jam.

Jika ingin mempersingkat perjalanan, pendatang bisa terlebih dahulu naik pesawat terbang dari Bandara Supadio, Pontianak, menuju Bandara Susilo di Kota Sintang yang waktu tempuhnya tidak lebih dari satu setengah jam.

Sementara itu, pukul 02.00 WIB, rumah betang atau lazim disebut rumah panjang (karena memang ukurannya panjang, lebih dari 30 meter), ternyata sudah ramai.

Daun-daun padi, berikut daun dari beberapa pohon serta batang-batang bambu, yang telah dianyam sedemikian rupa dan disebut “tipoh”, bergeletakan di lantai bangunan tanpa sekat yang biasa untuk tempat berkumpul. Selain itu, ada pula ember-ember hitam berisi air, daun padi, dan beras.

Tipoh itu sendiri adalah batang bambu dengan panjang kurang dari dua meter. Sisi kiri dan kanan bagian pucuknya terdapat keranjang kecil, juga dari bambu. Di bagian tengahnya diikat dua bilah bambu mini berbentuk tabung kecil.

Di sela aroma minuman tuak yang tajam, yang memang dikonsumsi dalam upacara-upacara khusus, seorang ibu mulai merapalkan doa-doa. Sirih di mulut tidak menghalanginya mengucap dan merapal sambil mengibas-ngibaskan daun padi ke tumpukan tumbuhan di hadapannya.

Tidak lama seseorang datang membawa seekor ayam. Tanpa banyak berkata, ayam tersebut dipotong di bagian leher, diiringi rapalan. Darahnya kemudian dipercikkan ke daun-daun padi, bambu-bambu, tumbuh-tumbuhan, dan ember-ember berisi beras.

Inilah cara Sungkup menghormati alam yang akan menyuburkan ladang dan sawah mereka.

“Dalam bahasa kami, acara ini disebut ‘gawai masuk’, dilaksanakan setelah berladang selama dua sampai tiga bulan, agar hasil ladang, termasuk padi, tidak mengalami gangguan sampai panen dan bisa tumbuh subur,” kata Bahen, yang di Desa Belaban Ella juga menjabat sebagai Wakil Badan Permusyawaratan Desa.

Adapun ayam, ember, dan tipoh adalah dibawa oleh kepala keluarga pemilik ladang dan sawah. Menurut Temenggung (pemimpin adat tertinggi) Desa Belaban Ella, Manan, setiap KK sedikitnya membuat dua sampai tiga tipoh yang dianyam sendiri.

Setiap ember yang berisi air, beras, dan daun padi, mewakili dua sampai empat KK.

Jadi Penyubur Acara “selamatan daun padi” ini berlangsung dengan meriah, bersama tabuhan gendang, gong, petikan kecapi, hingga tiupan suling. Campuran alat musik ini menghasilkan nada yang unik bagi orang awam.

Para warga menari, atau dalam bahasa setempat disebut “nyasai”, mengelilingi tumpukan tumbuhan dan ember-ember. Gayanya bebas, yang penting tangan dan kaki bergerak, disertai tawa dan senyum.

Acara itu sendiri diakhiri ketika seluruh keluarga yang ingin mendapatkan berkah untuk ladangnya, datang dan menyumbangkan ayam serta ember berisi beras dan daun padi.

Nantinya, air dari dalam ember dan bekas potongan ayam akan dituang diletakkan di keranjang dan tabung kecil di tipoh, sisanya akan disiramkan ke ladang maupun sawah. Untuk daun-daun padi kering dan daun-daun tumbuhan lain diikat dan digantung di depan pintu rumah. Sementara tipoh akan ditancapkan di ladang dan sawah masyarakat Penduduk adat Dusun Sungkup sendiri tidak pernah menggunakan pestisida ataupun obat-obatan lain dalam berladang atau menanam padi.

Air hasil pemberkatan “gawai masuk” itulah yang dipercaya menjadi penyubur lahan mereka.

“Ditambah doa-doa yang dipanjatkan,” kata Midah, seorang Ibu, yang ditemui usai menyiram air tersebut ke sawahnya.

Tidak lupa, lanjut Midah, warga adat juga memberikan makan burung-burung pemburu tikus yang ada di sawah karena telah berjasa menjaga tanaman mereka.

Bakar Hutan Masyarakat adat Dusun Sungkup tidak pernah sembarangan dalam menanam padi maupun membuka ladang. Semua dilakukan dengan penuh penghormatan pada alam.

Ranan (71), penduduk Sungkup, bercerita ketika mulai membuka lahan, mereka memohon izin kepada “nabi” yang dipercaya memiliki kuasa atas tanah, dengan ritual tertentu, seperti menyembah sebanyak tujuh kali, kemudian menabur tanah dengan beras yang telah dicampur kunyit.

“Jadi, ketika datang ke suatu tanah, kita harus memberi tahu kepada yang berkuasa atas tanah,” kata Ranan, yang juga terkenal sebagai pesilat di kampungnya.

Untuk membuka ladang, warga adat Sungkup menggunakan teknik membakar hutan. Namun, jangan berpikir mereka membakar ladang dengan seenak hati seperti yang banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan.

Menurut Uday (29), pihak yang ingin membakar hutan untuk ladang harus memberitahukannya kepada penduduk dan pemuka-pemuka adat.

“Kalau mau membakar, seberapa pun luasnya, bahkan beberapa jengkal sekali pun, penduduk harus tahu,” tutur Uday.

Sebelum membakar, mereka juga mesti membuat sekat di sekeliling daerah. Caranya, semua tanaman yang membatasi dengan wilayah lain harus ditebas.

Masyarakat adat Sungkup sangat serius mengenai hal ini. Jika kedapatan melanggar, misalnya kebakaran sampai menjalar, mereka akan terkena sanksi adat (ulun), dengan bentuk yang bervariasi bergantung pada pelanggarannya.

Bahkan, seperti dikatakan Temenggung Desa Belaban Ella, Manan, pelanggar juga bisa dikenai hukum negara.

“Jika ada masalah, akan diselesaikan melalui dewan adat. Kalau belum menemui titik terang, akan dibicarakan di tingkat temenggung. Hukum negara dilibatkan bila semua proses buntu dan itu harus diketahui oleh kepala desa,” kata Manan.

Namun sayang, luas hutan adat di Desa Belaban Ella, termasuk Dusun Sungkup, diduga makin mengecil karena masih berkonflik dengan sebuah taman nasional di daerah tersebut.

Berdasarkan catatan Kantor Desa, luas wilayah adat Desa Belaban Ella adalah 13.183,29 hektare. Sekitar 9.000 hektare di antaranya adalah hutan adat.

Namun, Lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada hukum adat di Kalimantan Barat, Lembaga Bela Banua Talino (LBBT) menyatakan 5.000 hektare dari hutan adat tersebut masuk wilayah abu-abu karena konflik.

“Sekitar 5.000 hektare masuk wilayah sengketa, yang akan terus diupayakan agar menjadi hak masyarakat adat. Walau memang ada beberapa kendala seperti belum adanya tata ruang desa,” kata Direktur LBBT Agustinus.

Artikel ini ditulis oleh: