Bahkan, mereka menganggap dinas kesehatan tidak bekerja. Anggapan itu salah, sebab pengasapan hanya membunuh nyamuk dewasa.
Sehubungan dengan meningkatnya kasus DBD Dinas Kesehatan NTB telah meningkatkan kewaspadaan dan langkah-langkah antisipasi, sehingga kasus DBD di NTB tidak semakin meluas. Diperkirakan kasus DBD mencapai puncaknya hingga Maret 2019.
Menurut data Kementerian Kesehatan pada Januari 2019, setidaknya 94 korban meninggal dunia akibat DBD.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Ari F Syam mengatakan demam berdarah merupakan penyakit endemis di Indonesia dan kasus demam berdarah dapat ditemukan sepanjang tahun.
Semakin dini seseorang diketahui menderita demam berdarah, makin mudah ditangani dan tidak mudah jatuh ke berbagai komplikasi seperti syok dan perdarahan yang lebih sulit ditangani. Penderita demam berdarah seharusnya tidak terlambat dibawa ke rumah sakit, karena makin terlambat semakin susah untuk ditangani.
Persoalan yang terjadi selama ini, masyarakat kerap tidak menyadari jika terkena demam berdarah.
Siklus demam berdarah yang seperti layaknya pelana kuda, membuat masyarakat seakan terlena karena demam tinggi mereda setelah tiga hari sehingga pasien menganggap sudah sembuh. Padahal fase tersebut merupakan fase kritis seseorang yang terkena DBD.
Untuk mengetahui jika mengidap demam berdarah atau tidak, maka harus melakukan cek darah di laboratorium. Uji laboratorium untuk memastikan infeksi DBD. Uji itu dilakukan dengan melakukan isolasi virus dalam kultur sel, identifikasi asam nukleat atau antigen serta deteksi antibodi spesifik terhadap virus. Hal itu dinilai tidak efesien dan efektif, karena membutuhkan waktu banyak dan biaya tidak sedikit.
Menyadari kondisi itu, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menciptakan “kit diagnostik” yang bisa mendeteksi DBD. Dengan peralatan tersebut, masyarakat bisa melakukan pengujian sendiri di rumah tanpa harus ke laboratorium atau rumah sakit.
Artikel ini ditulis oleh: