Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Lailly Prihatiningtyas berbincang-bincang dengan pemimpin Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor di lereng Gunung Merapi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sitras Anjilin.
Ratusan orang berasal dari berbagai desa di kawasan Gunung Merapi sudah berdatangan pada Kamis (6/11) malam, memadati pendopo padepokan seni budaya yang dibangun pada 1937 oleh tokoh spiritual, Romo Yoso Sudarmo (1885-1990).
Sebelumnya, para Pandawa telah mengutus Abimanyu (Widyo Sumpeno) dan Gatotkaca (Darmawan) dengan didampingi punakawan, yakni Semar (Cipta Miharsa), Petruk (Gondo Wardoyo), Gareng (Sarwoto), dan Bagong (Prihatin) untuk menghadap Begawan Abiyasa, guna meminta restu pembangunan “Lumbung Tugu Mas”.
“‘Kekarepan luhur dakpangestoni’ (Kehendak mulia, saya merestui, red.),” begitu Abiyasa yang ditemui utusan para Pandawa itu di Pertapaan Saptaarga.
Sitras Anjilin yang juga salah satu petinggi Komunitas Lima Gunung, beranjak menggantikan posisi Suwonto sebagai dalang. Sambil bersila di bawah dupa di tepi panggung pementasan, tangannya beberapa kali terayun, menebarkan beras ke kanan dan kiri tempatnya mendalang.
Rapalan-rapalan berbahasa Jawa meluncur dari Sitras, sambil terdengar tembang dari balik panggung tentang permohonan kepada para dewa untuk turun memberikan pusakanya kepada Pandawa guna membangun “Lumbung Tugu Mas”.
“‘Sang Yang Sri, tumuruna aneng taman agung, mahyonono tanem tuwuh mrih pratani, pinaringan subur makmur. Tumuruna aneng taman agung, mugi kasembadan kang kasedyanira’,” demikian sepenggal kalimat tembang doa yang terdengar dalam iringan gender bernuansa takzim.
Kira-kira maksud kalimat tembang tersebut, permohonan kepada Dewi Sri agar berkenan turun ke bumi Merapi, memberikan kesuburan pertanian, dan mengabulkan permintaan masyarakat untuk mendapatkan kehidupan semakin makmur.
Babak doa dalam pementasan wayang sakral selepas pukul 00.00 WIB, dikisahkan dipandu oleh Semar dengan punakawan lainnya. Mereka membakar dupa dalam tungku, sedangkan di tahta Indraprasta duduk Kresna dan Puntadewa, menantikan kedatangan para dewa dari kayangan guna menyerahkan berbagai pusakanya untuk membangun “Lumbung Tugu Mas”.
Tercatat 16 pusaka dari para dewa dan dewi diserahkan kepada para Pandawa, yang satu per satu diterima oleh punakawan, yakni pusaka bernama Sandang Walikat, Cangkok Wijaya Kusuma, Cangkok Sari Kenoko, Cangkok Joyomulyo, Kiai Susuk Sosro Bau Kenoko, Kastubo Urip, Kiai Jati Sampurna, Cepoko Sari, Kiai Blabar Gelap, Kiai Klabung Kusumo, Kiai Candi Sari, Kiai Candi Roso, Kiai Pembayun, Kiai Jangkar Sari Kenoko, Kiai Jangkar Wido Kenoko, dan Kiai Trekoso.
Saat adegan itu, padepokan seakan dalam balutan nuansa teduh, tenang, dan takzim. Seakan, semua yang hadir di pendopo larut begitu saja oleh alunan gending-gending gamelan yang ditabuh perlahan-lahan, merasukkan kalimat-kalimat doa dengan makna yang mudah ditangkap oleh benak setiap orang.
Tyas yang juga pegiat Komunitas Lima Gunung itu, mengungkapkan bahwa doa tak sekadar laku ritual.
Namun, katanya, tembang, lakon dan wayang, serta kata-kata, juga menjadi jalan interaksi antara manusia dan Tuhan dengan berbagai sifat kebenaran, yang menjadikan manusia lebih baik.
Selagi pesan-pesan kebaikan Tuhan terus menerus ditebarkan, kehidupan yang lebih baik menjadi keniscayaan.
“Doa di sini dibungkus dengan indah untuk mencapai tujuan hidup yang lebih baik. Segala doa diterima, menghasilkan hal-hal yang indah. Umur juga diisi dengan segala doa-doa,” katanya.
Seketika, doa mereka dalam wujud wayang sakral “Lumbung Tugu Mas” saat puncak “Suran Tutup Ngisor”, terasa telah menjadi selimut hangat padepokan di Gunung Merapi itu.
Artikel ini ditulis oleh: