Gelombang Surut Keilmuan sebagai Gelombang Surut Indonesia

Ketika kekuatan argumentasi (hikmat-kebijaksanaan) berhenti, yang akan berlangsung adalah dua kemungkingan yang destruktif. Pertama, toleransi negatif yang mengarah pada politik dagang sapi untuk kepentingan jangka pendek. Kedua, ‘kekuatan logika’ akan digantikan ‘logika kekuatan’ yang menutup proyek demokrasi dengan konflik-anarkisme di jalanan.

Pada titik inilah, titik genting perkembangan demokrasi di Indonesia. Bahwa gelombang pasang kebebasan demokratis di Indonesia beriringan dengan gelombang surut modal pengetahuan. Tingkat keberaksaraan dan keluasan erudisi manusia Indonesia saat ini mendapatkan ancaman dari berbagai penjuru. Ancaman pertama dari konsepsi utilitarian lembaga-lembaga pendidikan (Godzich, 1994). Fenomena ini melahirkan apa yang disebut Frank Furedi (2006) sebagai ”the cult of philistinism”, pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis.

Universitas dan lembaga pendidikan lainnya sebagai benteng kedalaman ilmu mengalami proses peluluhan kegairahan intelektual, tergerus oleh dominasi etos manajerialisme dan instrumentalisme; suatu etos yang menghargai seni, budaya dan pendidikan sejauh yang menyedian instrumen untuk melayani tujuan-tujuan praktis. Orang-orang yang mengobarkan kegairahan dalam kedalaman intelektual berisiko dicap sebagai ’’elitis’, ’tak membumi’, dan ’marjinal’. Kedalaman ilmu dan wawasan kemanusiaan dihindari, kedangkalan dirayakan.

Ancaman kedua, berupa terpaan luas dan intens dari multimedia, khususnya televisi. Selain biasnya terhadap kelisanan, kemaharajalelaannya di tanah air, saat tradisi literasi rapuh dan kesasteraan dimarjinalkan, memberi penguatan terhadap budaya kedangkalan seraya melemahkan fungsi-fungsi keberaksaraan.

Tekanan pada utilitarianisme dalam kelemahan tradisi literasi dan erudisi memberi ketimpangan pada kehidupan publik. Seperti diungkapkan oleh Habermas (1983), kehidupan dan ruang publik yang sehat memerlukan interaksi yang sepadan dari tiga pendekatan, yang meliputi dimensi kognitif-saintifik, praktis-moral, dan ekspresif-estetik. Menurutnya, ketiga pendekatan itu bernilai setara. Ketika salah satu pendekatan mendominasi dan melemahkan yang lain maka yang akan muncul adalah ketimpangan dan kelumpuhan, yang tercemin dari rusaknya karakter bangsa.

Gelombang surut modal pengetahuan juga merupakan kehilangan terbesar “ciri keindonesian”; justru ketika dunia perekonomian semakin mengarah pada “ekonomi kreatif” (the creative economy) yang mengandalkan modal kreatif-inovatif pengetahuan. Richard Florida dalam The Rise of the Creative Class (2002) melukiskan secara baik tentang peran esensial dari kreativitas-pengetahuan. Bahwa pusat pertaruhan ekonomi saat ini tidaklah seperti pada transisi dari era pertanian ke industri yang mengandalkan input fisik (tanah dan tenaga manusia), melainkan bersandarkan pada inteligensia, pengetahuan dan kreativitas. Kreativitas manusia-lah satu-satunya sumberdaya yang tak terbatas. Negara-negara dengan creative capital yang tumbuh baik, seperti Finlandia, Swedia, Denmark, Belanda, Irlandia, Canada, Australia dan New Zealand, terbukti memiliki daya saing perekonomian yang lebih kuat.

Isu utamanya di sini, bukanlah human capital dalam arti konvensional yang semata-mata diukur berdasarkan pendidikan formal, melainkan pada pemuliaan daya-daya kreatif lewat penyediaan ekosistem yang baik bagi pengembangan kreativitas. Ekosistem kreativitas yang baik merupakan sinergi dari ketersediaan ”teknologi, talenta, dan toleransi (3T)—dengan tiadanya hambatan bagi ragam ekspresi budaya.

Adapun pelaku utama dari ekonomi kreatif (the creative economy) ini tak lain adalah anak-anak muda dengan etos kreatif yang kuat. Itulah sebabnya, mengapa dalam perekonomian global hari ini, banyak pengusaha sukses yang tumbuh dari orang-orang berusia muda. (Bersambung)

Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual