Penutup: Restorasi Fitrah Keindonesiaan

Berdiri di awal milenium baru, menyaksikan arus globalisasi yang kian luas cakupannya, dalam penetrasinya dan instan kecepatannya, mengusik rasa hirau kita akan eksistensi bangsa kita di pentas dunia. Banyak ahli meramalkan bahwa dengan tendensi kemandegan perekonomian di Eropa dan Amerika Serikat, masa depan perkembangan dunia dilukiskan sebagai era kebangkitan Asia. Tetapi dalam era kebangkitan Asia ini, apakah takdir Indonesia sebagai negara besar hanyalah pelengkap penderita yang bercokol di halaman belakang dari dinamika kawasan? Ketika negara-negara lain di kawasan Asia-Pasifik makin percaya diri dengan daya saingnya, Indonesia justru menyongsong dinamika kompetisi pasar bebas dengan kondisi yang memprihatinkan.

Usaha apapun untuk memancangkan kembali marwah keindonesiaan harus mempertimbangkan fitrah keindonesiaan yang perjuangan emansipasi berbasis daya muda dan daya pengetahuan. Suatu usaha penemuan kembali Indonesia bisa dilakukan dengan melakukan transformasi paradigmatik dalam kebudayaan. Strategi kebudayaan harus melakukan reorientasi pada dimensi mitos, logos dan etos. Kepercayaan kembali pada potensi kaum muda sebagai agen perubahan, pengukuhan kembali ilmu sebagai ukuran kehormatan, serta pemupukan etos kerja lewat pendidikan karakter yang memuliakan akhlak dan meritokrasi berbasis aktualisasi ragam kecerdasan insani.

Pada dimensi mitos, yang harus kita akhiri bukan saja ”mitos pribumi malas”, melainkan juga mitos yang memandang ”status quo” dan senioritas sebagai ukuran kualitas dan tumpuan perubahan. Mitos baru harus dimunculkan dengan mempercayai kapasitas kaum muda sebagai agen perubahan. Seiring dengan itu, kaum muda sendiri dituntut untuk menyelamatkan kepercayaan rakyat kepada Republik, dengan mengembalikan politik pada khitahnya sebagai seni untuk mewujudkan kemaslahatan bersama (republik). Dalam kaitan ini, ada mitos lain yang harus diruntuhkan.

Mitos lama yang mempercayai bahwa kemenangan suatu kelompok etnis-keagamaan-kelas sosial harus dibayar oleh kekalahan kelompok lain harus diakhiri. Kepercayaan baru perlu dihadirkan dengan kejembaran untuk berbagi kebahagian dengan merayakan kemenangan secara bersama. Kekayaan Indonesia sebagai negeri multikultural tidak boleh dibiarkan terus berjalan dalam situasi “plural monokulturalisme” yang berjalan sendiri-sendiri tanpa saling berinteraksi. Harus diciptakan wahana yang mendorong proses penyerbukan silang budaya (cross-culture vertilization), yang melahirkan persenyawaan yang unggul dan produktif.

Pada dimensi logos, pengukuhan kembali kekuatan ilmu sebagai ukuran kehormatan terasa penting ketika daya pikir (’bangsawan pikiran’) mulai ’dihinakan’ kembali oleh ‘kebangsawanan baru’, dalam bentuk kronisme dan politik dinasti, yang membawa mediokritas dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan merajalelanya mediokritas, etos kreatif dan ekonomi kreatif sebagai basis daya saing global pada era pasca-industri tak bisa berkembang secara kondusif.

Jika bangsa ini ingin merestorasi elan vitalnya, seperti yang pernah dihidupkan oleh para pendiri bangsa, tak ada jalan lain bahwa modal pengetahuan dan pemahaman (logos) perlu ditingkatkan dengan memperbaiki sistem pembelajaran sosial secara kolektif (collective social learning). Terbukti bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bisa hanya bertumpu pada modal sumberdaya alam. Yang terpenting justru modal sumberdaya insani.Bahwa kemajuan dan kesejahteraan rakyat harus dipandang sebagai hasil dari proses belajar sosial. Kesetaraan kesempatan dan interaksi sosial menjadi kata kunci.
Untuk memberi lingkungan yang kondusif bagi penguatan modal pengetahuan, praksis demokrasi harus kembali dipimpin oleh orientasi etis ‘hikmat/kebijaksanaan yang memuliakan nalar-pengetahuan dan kearifan.

Seturut dengan itu, setiap warga harus diberi peluang yang sama untuk bisa memasuki dunia pendidikan. Harus dicegah proses pendidikan yang mengarah pada pengukuhan segregasi sosial. Sekolah-sekolah publik harus bisa diakses oleh orang dari latar agama dan etnis apa pun, dan menjadi wahana peyerbukan silang budaya (cross-culture fertilization) yang dapat memperkuat budaya kewargaan (civic culture). Kapitalisasi dunia pendidikan harus dibatasi dengan meneguhkan kembali standar meritokrasi, di atas daya beli.

Pada dimensi etos, perlu ada transformasi karakter untuk membebaskan bangsa dari perbudakan mental dan mentalitas budak—yang mudah dilamun ombak dan bersilang sengkarut—dengan memberi isi dan arah hidup kebangsaan. Seperti kata Bung Karno dalam Amanat Proklamasi 1956: ”Bangsa Indonesia harus mempunyai isi-hidup dan arah-hidup. Kita harus mempunyai levensinhoud dan levensrichting. Bangsa yang tidak mempunyai isi-hidup dan arah-hidup adalah bangsa yang hidupnya tidak dalam, bangsa yang dangkal, bangsa yang cetek, bangsa yang yang tidak mempunyai levensdiepte samasekali. Ia adalah bangsa penggemar emas-sepuhan, dan bukan emasnya batin. Ia mengagumkan kekuasaan pentung, bukan kekuasaan moril. Ia cinta kepada gebyarnya lahir, bukan kepada nurnya kebenaran dan keadilan. Ia kadang-kadang kuat,–tetapi kuatnya adalah kuatnya kulit, padahal ia kosong-mlompong di bagian dalamnya.”

Pada titik ini, yang kita persoalkan adalah perlunya transformasi pada dimensi etos kejuangan. Etos adalah karakter dan sikap dasar manusia terhadap diri dan dunianya. Ia merupakan aspek evaluatif yang memberi penilaian atas berharga tidaknya sesuatu serta memberi orientasi atas tindakan manusia, yang tercermin dalam sikap dan pilihan-pilihan yang dikembangkannya.

Etos pemuda selama ini kental berkarakter kekerasan dan ”kemalasan”, seperti tercermin dari munculnya berbagai laskar dan mentalitas ”pegawai”. Dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa, etos seperti itu harus ditransformasikan menjadi etos kerja dan etos kreatif sesuai dengan bakat dan karakternya masing-masing.

Dengan menggali modal sejarah, kita bisa bercemin bahwa peristiwa Sumpah Pemuda bisa dilukiskan sebagai ekspresi pembongkaran kreatif (creative destruction). Menerobos kecenderungan serba ragu, konformis, parokialis dan status quois dari generasi tua, para pemuda-pelajar, yang semuanya berusia di bawah 30 tahun itu, datang dengan etos kreatif. Etos kreatif ini, seperti dilukiskan Margaret Boden dalam The Creative Mind (1968), bersendikan kepercayaan diri dan kesanggupan menanggung risiko, sehingga memiliki keberanian untuk mendekonstruksi bangunan lama demi konstruksi baru yang lebih baik.

 

Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual