Jakarta, aktual.com – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyampaikan keprihatinan mendalam atas bencana ekologis berupa banjir dan longsor yang melanda wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Ketua Umum YLBHI menegaskan bahwa peristiwa tersebut telah menimbulkan dampak luas terhadap kemanusiaan, infrastruktur, sosial-ekonomi, serta lingkungan.
“Kami menyampaikan keprihatinan mendalam atas bencana ekologis, banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Peristiwa tersebut berdampak hebat pada kemanusiaan, kerusakan infrastruktur, kerugian sosial-ekonomi dan juga kerusakan lingkungan berskala luas,” ujar Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur Rabu (10/12).
Ia menekankan bahwa perkembangan kondisi di lapangan menunjukkan urgensi bagi pemerintah pusat untuk segera turun tangan. Karena itu, pihaknya meminta Presiden Republik Indonesia menetapkan status bencana nasional.
“Berdasarkan perkembangan situasi di lapangan, kami mendesak agar Presiden Republik Indonesia segera menetapkan status bencana nasional. Selain itu kami juga meminta Pemerintah Republik Indonesia untuk menangani bencana ini dengan cepat dan terukur, agar para korban segera mendapatkan haknya,” katanya.
Data BNPB hingga 8 Desember 2025 menunjukkan jumlah korban terus meningkat. Tercatat sekitar 974 orang meninggal, 298 orang hilang, dan jumlah tersebut belum mencakup korban yang masih belum ditemukan. Puluhan ribu warga juga harus mengungsi, dengan kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, serta lansia berada dalam situasi paling kritis.
Keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan, air bersih, sanitasi, dan perlindungan di lokasi pengungsian memperburuk kerentanan kelompok perempuan, terutama terkait kebutuhan kesehatan reproduksi.
“Kami memperkirakan jumlah korban akan terus bertambah seiring terbatasnya akses evakuasi dan lambatnya mobilisasi bantuan,” ucapnya.
Kerusakan infrastruktur yang meluas—mulai dari jalan yang terputus hingga jaringan komunikasi yang lumpuh—menghambat proses penyelamatan, penyaluran bantuan, serta layanan medis. Banyak wilayah terisolasi dan masyarakat bertahan dengan pasokan terbatas, menegaskan perlunya intervensi cepat dan efektif dari pemerintah pusat tanpa hambatan birokrasi.
“Setiap jam keterlambatan adalah bentuk kelalaian negara terhadap keselamatan warganya,” tegasnya.
Kerugian sosial-ekonomi turut membebani masyarakat, mulai dari ribuan rumah yang hancur, lahan pertanian dan usaha yang musnah, hingga terhentinya kegiatan ekonomi. Kondisi ini membuat warga kehilangan pendapatan dan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Pemulihan dalam skala sebesar ini tidak dapat ditangani pemerintah daerah saja dan membutuhkan dukungan penuh pemerintah pusat, termasuk dari sisi anggaran, rekonstruksi, dan bantuan teknis.
Menurut YLBHI, warga terdampak bukan hanya berhak menuntut negara atas kerugian jiwa, harta benda, serta akses kesehatan, tetapi juga pihak swasta. Mereka menilai kerusakan lingkungan ini tidak lepas dari praktik eksploitasi perusahaan yang berlebihan, tidak sesuai aturan administrasi, bahkan ada yang beroperasi secara ilegal.
“Warga sebagai korban terdampak memiliki hak konstitusional. Bukan hanya menuntut pada ganti kerugian kehilangan nyawa, kehilangan harta benda, gangguan akses kesehatan dan yang lainnya terhadap negara, tetapi terhadap pihak perusahaan swasta,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa akar masalah ini tidak cukup diselesaikan melalui proses administratif biasa. Karena faktor utama yang memicu kerusakan lingkungan adalah aktivitas perusahaan, maka perlu ada pemeriksaan menyeluruh terhadap pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dari kegiatan tersebut.
“Sehingga bukan negara saja yang bertanggung jawab, swasta juga bertanggung jawab dan dapat dituntut pemenuhan hak,” katanya.
YLBHI menyatakan bahwa dalam kasus ini aspek hukumnya bukan hanya perdata, tetapi juga pidana, karena sudah termasuk kategori Kejahatan Ekosida. Oleh karena itu, penegakan hukum harus berjalan bersamaan dengan upaya penyelamatan korban.
Penetapan status bencana nasional disebut akan membuka ruang bagi investigasi lintas daerah untuk menelusuri penyebab struktural bencana, sekaligus memastikan pihak-pihak yang melakukan kerusakan lingkungan diproses secara hukum.
“Penetapan bencana nasional bukan hanya status administratif, tetapi langkah mendesak untuk menyelamatkan nyawa, mempercepat penanganan yang sensitif gender, dan memastikan negara hadir sepenuhnya melindungi rakyat. Tindak lanjut penetapan bencana nasional juga harus memastikan penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik, serta pelibatan dan pengawasan oleh berbagai pihak,” ujarnya.
YLBHI menegaskan bahwa seluruh indikator penetapan bencana nasional telah terpenuhi di Aceh, Sumut, dan Sumbar.
“Kami mendesak Presiden segera mengambil keputusan demi kemanusiaan, keselamatan, dan masa depan masyarakat terdampak,” tegasnya.
Ia juga menyoroti perlunya pemeriksaan terhadap perusahaan-perusahaan terkait, termasuk siapa pemilik dan penerima manfaatnya.
“Sehingga, dapat diketahui apakah mereka memberikan kontribusi pada saat pemilu/pemilihan presiden, serta apakah mereka merupakan pihak yang berada di belakang para Menteri yang bertanggung jawab,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















