Dokumentasi-Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (8/4/2025). ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi.
Dokumentasi-Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (8/4/2025). ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi.

Jakarta, aktual.com – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden RI ke-2, Soeharto, sebagai tindakan yang merusak prinsip hukum, etika, dan hak asasi manusia.

“YLBHI memandang bahwa pemberian gelar Pahlawan kepada Soeharto semakin membuktikan bahwa Pemerintahan Prabowo nir etika, merusak hukum dan hak asasi manusia, tak peduli dengan anti korupsi, dan merendahkan nilai-nilai kepahlawanan,” kata Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur, Senin (10/11).

Ia menyebut bahwa keputusan tersebut sudah dapat diduga sebelumnya, meskipun sarat dengan benturan kepentingan.

“Pemberian gelar Pahlawan oleh Presiden Prabowo sudah kami duga akan dipaksakan untuk diberikan, walaupun penuh dengan benturan kepentingan (conflict of interest),” ucapnya.

Lebih lanjut, Isnur menilai keputusan tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap korban pelanggaran HAM, nilai demokrasi, serta semangat reformasi.

“Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan hanya sebuah pengkhianatan terhadap para korban dan nilai-nilai demokrasi, tetapi juga pengkhianatan terhadap reformasi serta merupakan pengaburan sejarah yang berbahaya bagi generasi muda,” lanjutnya.

Ia menegaskan bahwa gelar kepahlawanan semestinya diberikan kepada tokoh yang benar-benar berjuang untuk kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan, dan kedaulatan rakyat.

“Gelar ini hanya layak diberikan kepada mereka yang benar-benar berjuang untuk kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan, serta kedaulatan rakyat; bukan kepada pemimpin yang masa jabatannya diwarnai oleh otoritarianisme dan pelanggaran hak asasi manusia rakyatnya,” katanya.

YLBHI juga menilai keputusan tersebut bertentangan dengan sejumlah regulasi dan putusan hukum yang telah ada, antara lain:

  1. Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022, yang mengakui adanya pelanggaran HAM berat di berbagai peristiwa pada masa pemerintahan Soeharto, seperti peristiwa 1965–1966, penembakan misterius (1982–1985), Talangsari (1989), Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh (1989), penghilangan paksa (1997–1998), serta kerusuhan Mei, Trisakti, dan Semanggi (1998).
  2. TAP MPR X Tahun 1998, yang menilai pemerintahan Orde Baru telah menyimpang dari konstitusi melalui penyalahgunaan wewenang dan pelecehan hukum.
  3. TAP MPR XI Tahun 1998, yang menyebut pemerintahan Soeharto sarat dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
  4. Putusan Mahkamah Agung Nomor 140 PK/Pdt/2015, yang menyatakan Soeharto dan Yayasan Supersemar terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan diwajibkan membayar ganti rugi lebih dari Rp4,4 triliun kepada Pemerintah RI.

“YLBHI mengecam keras pemberian gelar pahlawan ini, dan semakin menunjukkan rezim Prabowo telah semakin masuk dalam pemerintahan yang mengkhianati UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengkhianati dan menyakiti rakyat, serta telah terbukti melakukan tindakan-tindakan tercela,” ungkap Isnur.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain