Jakarta, aktual.com – bertempat di kantor YLBHI, LBH Yogyakarta bersama YLBHI, LBH Jakarta dan KontraS melaksanakan konferensi pers dalam rangka pemapara Laporan Investigasi Kasus Salah Tangkap, Penyiksaan, dan Penyebaran Data Pribadi 6 (enam) Anak yang Diduga dilakukan oleh Anggota Polres Magelang Kota. Laporan investigasi ini dibuat oleh LBH Yogyakarta bersama dengan Ruang Juang Magelang yang tergabung dalam Solidaritas Perjuangan untuk Keadilan Rakyat.
Konferensi pers diawali oleh pemutaran video testimoni dari kedua orang tua korban yaitu Dita sebagai orang tua DRP (15) dan Sumiati sebagai orang tua MDP (17). Mereka tidak dapat hadir di kantor YLBHI secara langsung, mengingat kesibukan rumah tangga yang tidak dapat ditinggalkan. “anak kami disiksa, disebar data pribadinya, padahal mereka tidak bersalah sama sekali, kami akan perjuangkan terus hak anak saya” ucap Dita dan Sumiati sambil terisak.
Laporan investigasi dipaparkan oleh Royan Juliazka Chandrajaya, Staf Divisi Advokasi LBH Yogyakarta. Dalam temuan investigasi, Royan memaparkan bahwa terdapat 26 anak korban salah tangkap yang menjadi korban penyiksaan. Namun hanya 6 (enam) anak yang melanjutkan proses hukum. Pola penyiksaan yang mereka alami seperti leher dipiting, badan diseret, kepala dan perut dipukul, dada dan punggung dicambuk menggunakan selang dan para korban disuruh mengunyah kencur secara bergiliran. Alat penyiksaan yang digunakan oleh polisi seperti selang, helm, sandal bersol keras, keling dan pentungan.
“Semua korban disiksa selama kurang lebih 20 jam. Mereka dibebaskan pada pukul 18.00 WIB dengan luka-luka di sekujur tubuh. Mereka diancam oleh polisi untuk tidak menceritakan apa yang mereka alami selama di kantor polisi. Data pribadi mereka juga disebar ke media-media sosial dengan keterangan sebagai pelaku kerusuhan”, ungkap Royan.
Fadhil Alfathan, Direktur LBH Jakarta, menanggapi bahwa apa yang terjadi di Magelang bisa menjadi cermin untuk melihat fenomena-fenomena yang terjadi di daerah lain. Terkait penyebaran data pribadi para korban, ia mengatakan bahwa siksaan yang dilakukan oleh polisi hari ini tidak lagi terjadi dalam ranah fisik, namun juga digital. “Jika mengutip pelapor khusus HAM di PBB, ada yang namanya digital torture. Barangkali apa yang terjadi di Magelang itu bukan hal yang endemik, namun juga merupakan peristiwa yang juga terjadi di kepolisian daerah lain, bisa saja termasuk Polda Metro Jaya,” pungkasnya.
Sementara Andri Yunus, Wakil Kordinator Eksternal KontraS menanggapi dengan catatan KontraS terkait situasi penyiksaan yang akhir-akhir ini makin menjadi momok di tubuh kepolisian. Institusi kepolisian yang harusnya berbenah dan menjadi bagian dari pilar penegakan hukum justru menjadi institusi dengan kasus pelanggaran HAM paling banyak.
“Indonesia sudah sejak lama meratifikasi konvensi internasional anti penyiksaan. Namun praktik penyiksaan masih sangat susah dihilangkan. Penyiksaan masih menjadi senjata kepolisian untuk mengejar pengakuan. Saya masih tidak habis pikir, kenapa bisa ada bumbu dapur (kencur) di kantor polisi. Dapat dari mana? Dipakai pula untuk menyiksa dengan cara yang sungguh sangat tidak manusiawi” tegasnya.
Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI, Arif Maulana juga menanggapi terkait situasi represivitas berupa penangkapan secara sewenang-wenang dan penyiksaan oleh Aparat Kepolisian tidak hanya terjadi di Magelang saja, namun juga terjadi di berbagai daerah. “Saya menambahkan data berkaitan dengan kasus-kasus penyiksaan jamak terjadi di berbagai wilayah di Indonesia dan terus berulang. Data dari teman-teman YLBHI-LBH dari berbagai kantor, di tahun 2022-2023, kami mencatat ada 46 kasus penyiksaan dengan jumlah korban 294, kemudian ada kasus extra judicial killing (pembunuhan di luar proses hukum) di kurun waktu 2020-2023 ada 24 korban, bahkan ada yang meninggal ketika ditahan atau dalam penguasaan oleh Kepolisian. Selain itu, dikurun waktu 2016-2022 mencatat ada 10 kasus dugaan salah tangkap Aparat Kepolisian di Jabodetabek yang ditangani oleh LBH Jakarta,” paparnya.
1. Menuntut agar Kapolri mundur dari jabatannya karena tidak dapat menyelesaikan kasus kekerasan dan penyiksaan, bahkan pelanggaran HAM sebagai bentuk ketidakprofesionalannya;
2. Mendesak Presiden untuk mereformasi Polri;
3. Menyerukan untuk memperkuat pengawasan Kepolisian agar berfungsi dengan baik, dan masyarakat diberikan ruang agar dapat berpartisipasi dalam hal mengontrol kewenangan Kepolisian;
4. Usut tuntas penegakan hukum agar tidak terjadi impunitas dalam tubuh Polri secara berkelanjutan;
5. Mendesak Polres Magelang Kota untuk berhenti melakukan intimidasi terhadap korban dan keluarga korban yang terjadi secara masif hingga hari ini.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















