Jakarta, aktual.com – Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mempertanyakan penggunaan pasal makar yang disangkakan pada aktivis Eggi Sudjana. Menurutnya penerapan pasal itu harus dikaji lebih lanjut karena pasal makar tak bisa diterapkan sembarangan.
“Apakah sudah ada serangan yang dilakukan? Atau percobaan serangan yang dilakukan? Makar itu tidak bisa hanya berpikir, menulis, kemudian dibilang makar,” ujar Asfinawati di kantor LBH Jakarta, Selasa (14/5).
Definisi makar, kata dia, sejatinya berasal dari bahasa Belanda yakni anslaag atau serangan. Jika tidak ada tindakan atau percobaan untuk melakukan serangan itu, menurutnya, polisi tak bisa menerapkan pasal makar pada Eggi.
“Ini berbahaya sekali penggunaan makar, karena harusnya makar ini punya dimensi berat dengan memberontak atau menggulingkan pemerintah. Tapi kalau tidak ada ya bukan makar namanya,” katanya.
Penjelasan tentang makar ibarat penggunaan pisau yang dimiliki seseorang. Asfinawati mengatakan, seseorang yang memiliki pisau tak lantas dituduh melakukan percobaan pembunuhan.
“Tapi kalau dia bawa pisau di malam hari, masuk ke rumah orang diam-diam, bisa kita katakan ini kira-kira bukan untuk potong mangga kan? Jadi harus ada permulaan pelaksanaan kalau mau menggunakan pasal makar,” terangnya.
Ucapan people power yang digaungkan Eggi juga tak lantas disimpulkan sebagai upaya makar. Menurutnya, pernyataan people power harus dibuktikan lebih jauh sebagai suatu bentuk serangan untuk melawan pemerintahan yang sah.
Ia membandingkan dengan aksi massa yang memprotes kepemimpinan Presiden RI kedua Soeharto pada tahun 1998. Aksi itu yang dinilai lebih tepat disebut sebagai people power.
“Di Indonesia pernah tahun ’98 itu namanya people power melawan pemerintah. Jadi tergantung people power ini untuk apa. Sebenarnya kan yang tidak boleh bukan kata people power-nya, tapi dia melakukan kekerasan atau tidak, menyerang atau tidak, dan sebagainya,” paparnya.
Jika Eggi memang dianggap melanggar hukum, lanjut dia, polisi mestinya mengkaji ulang pasal yang dikenakan pada pengacara Persaudaraan Alumni 212 itu.
“Kalau memang dianggap melanggar hukum ya gunakan aturan hukum yang ada. Ada pasal lain, harus sesuai. Bukan berarti tidak bisa dihukum. Sama kayak orang menganiaya kan enggak bisa dibilang pembunuhan berencana,” ucapnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin