“Jika jumlah penumpang 100 juta ini tercapai, artinya trafik di Tol Sedyatmo akan makin padat dan keandalannya makin menurun. Artinya, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, selaku operator Tol Sedyatmo, tidak akan mampu memenuhi berbagai indikator untuk meningkatkan pelayanan yang tercakup dalam standar pelayanan mnimal (SPM) jalan tol,” katanya.

Kecuali, tutur Tulus, jika pemerintah bisa memindahkan 30 persen pengguna Tol Sedyatmo menjadi pengguna KA bandara, yang sampai sekarang dinilai masih belum banyak diminati dan sepi penumpang.

“Bisa kita bayangkan jika 100 juta penumpang Bandara Soetta semuanya melintas via jalan Tol Sedyatmo,” katanya.

Dengan demikian, menurut Tulus, mengacu pada kondisi empirik seperti itu, maka tarif Tol Sedyatmo tidak layak untuk dinaikkan.

Tulus menambahkan memang operator tol mempunyai hak menaikkan tarif tol per dua tahun sekali, namun, hal itu bisa dilakukan jika keandalan dan kemampuan jalan tol bisa dipenuhi, melalui SPM sebagai prasyarat untuk kenaikan tarif tol.

Tanpa adanya rekayasa lalu lintas yang mumpuni untuk mengembalikan keandalan jalan tol, menurut dia, maka kenaikan tarif Tol Sedyatmo adalah bentuk perampasan hak konsumen sebagai pengguna jalan tol.

Artikel ini ditulis oleh: