Jakarta, Aktual.com – Banyak sejarahwan di Indonesia memiliki kelemahan tidak bisa membaca sejarah secara genealogi. Akibatnya, sampai hari ini, sejarah di Indonesia tidak menjadi bahan pelajaran.
Pendapat itu disampaikan cendekiawan Yudi Latief saat membedah ‘Genealogi Pemikiran Pendiri Bangsa’ di Megawati Institute, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (27/11).
Kata Yudi, kebanyakan sejarahwan membaca monumen hanya sebagai dokumen secara kronologis.
Peraih gelar Ph.d di tahun 2004 untuk Sosiologi Politik dan Komunikasi dari Australian National University itu berpendapat demikian dengan menukil pemikiran Michel Foucault.
Di mana Foucalut melihat genealogi dalam arti sinkronik. Yaitu cara membaca sejarah secara strategis, dengan melihat masa lalu dari terang kepentingan dan kenyataan hari ini.
Tutur Yudi, Foucault berpendapat bahwa sejarahwan memiliki pretensi menjadikan monumen sebagai dokumen. Namun dalam genealogi, memiliki pretensi menjadikan dokumen sebagai monumen.
“Sedangkan sejarahwan kita kebanyakan membaca monumen hanya sekedar dokumen yang sifatnya kronologis. Padahal tugas kita justru bagaimana supaya sejarah itu, memberikan pelajaran untuk kepentingan hari ini,” ujar Yudi.
Sambung Yudi, Foucault melihat sejarah sebagai sebuah ‘retakan’. Namun retakan bukanlah sebuah ‘unbroken continuity’. Retakan itu lebih dilihat sebagai kenyataan bahwa pada generasi tertentu melahirkan sesuatu yang berbeda. “Lalu kita dapat melihat monumen–monumen apa yang dibangun,” ujar dia.
Artikel ini ditulis oleh: