Jakarta, Aktual.com – Indonesia Democracy Monitor (Indemo) merayakan hari jadinya yang ke-17 sekaligus memperingati 43 tahun Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari) di Balai Kartini, Jakarta, Minggu (15/1).
Peringatan tersebut juga menggelar Seminar Kebangsaan bertajuk “Menyikapi Perubahan, Kebangkitan Populisme” dengan pembicara aktivis Malari Hariman Siregar, Pengamat Politik dan Sosial Yudi Latif, Pengamat Ekonomi Faisal Basri dan Peneliti STF Driyarkara Herry Priyono.
Secara garis besar, Yudi Latif dalam paparannya menekankan soal demokrasi, perubahan dan perkembangannya.
“Mengapa negara-negara Skandinavia relatif selamat dari hempasan neoliberalisme dimana kesenjangan terlalu lebar tapi kemakmuran bisa dipertahankan?” tanya Yudi mengawali paparannya dalam seminar kebangsaan di Balai Kartini, Minggu (15/1).
Yudi menuturkan, perekonomian terhadap tantangan zaman dan globalisasi ditentukan oleh tiga hal. Pertama, rezim pengambilan keputusan (policy making rezim), yakni bagaimana cara demokrasi itu dikembangkan dan cara keputusan politik dijalankan.
Kedua, production rezim. Bahwa bagaimana perusahaan-perusahan kecil dan besar dijalankan. “Apakah wataknya saling tolong menolong atau apakah wataknya predatori? Itu menentukan,” katanya.
Diantara policy making dan production rezim pun, lanjutnya, ditentukan lagi oleh unsur ketiga. Namanya, knowledge rezim, yaitu rezim pengetahuan yang dikembangkan di universitas pada dan juga pusat-pusat studi.
“Kalau kita lihat negara-negara Skandinavia, policy making rezimnya sangat menekankan pada model pengambilan keputusan demokrasi konsensus. Tidak mengandalkan model-model keputusan yang berbasis majoritarian. Mereka menekankan prinsip demokrasi dengan cara-cara permusyawaratan atas dasar argumentatif hikmat kebijaksanaan,” ungkap Yudi.
Jadi, kata dia, ada keputusan yang tidak bisa diambil begitu saja tanpa mekanisme yang ditentukan bersama. “Semacam GBHN-lah kalau di kita. Ada garis-garis pokok direktif prinsipal yang harus disepakati bersama. Tidak boleh di by-pass begitu saja,” terang dia.
Yudi mengatakan,di negara-negara Skandinavia, production rezimnya sangat mengandalkan tolong menolong, biasanya disebut koperasi. Bahkan, dari sektor negaranya wataknya juga tolong menolong. Artinya, meskipun perusahaan negara bukan berarti seluruh cabangnya dikuasai negara tetapi bisa mengembangkan partisipasi masyarakat.
“Jadi semacam guided market lah. Itu semua ditopang knowledge rezim, tergantung pengetahuan apa yang dikembangkan dalam kurikulum universitas. Pusat research-nya seperti apa, dan disana selalu ada kolaboratif research antara parpol dan parlemen, juga institusi research perguruan tinggi dalam rangka mencapai kedaulatan policy yang pruden bagi kepentingan nasional bukan kelompok tertentu,” jelas Yudi.
Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa situasi di Indonesia, begitu neoliberalisme masuk dan membonceng arus globalisasi, nusantara juga mengalami proses politik mengikuti gelombang demokratisasi. Sehingga, seluruh konsensus yang menjadi rahim dari pancasila diabaikan sama sekali.
“Jadi kita alami gelombang demokratisasi tanpa basis kolektif atau ideologi bersama. Nilai konsensus dihabisi, demokrasi tak berbasis permusyawaratan. Demokratisasi dengan lunturnya daya hikmat kebijaksanaan karena bangkrutnya kualitas mutu berfikir baik universitas maupun lembaga politik,”
“Di kita hampir tidak ada parpol yamg sungguh-sungguh memiliki tangki pemikir. Di negara lain selalu punya. Kalaupun ada lembaga research negara seperti LIPI tak pernah diberdayagunakan. Maka banyak sekali di kita ini UU yang tak punya basis akademik,”
Situasi makin buruk, saat era sekarang Indonesia justru mengalami kemunduran literasi yang luar biasa. Indonesia, kata yudi, minat bacanya nomor dua terbawah setelah Boswana. Tetapi penggunaan sosial medianya berada di urutan nomor 4 di dunia. “Ini situasi yang kita hadapi,” tambahnya.
Menurut Yudi, Indonesia tengah mengalami traumatik terhadap ideologi pancasila. Selain itu, juga mengalami kemunduran cara berfikir luar biasa didalam situasi seperti sekarang ini. Yang berkuasa adalah mereka yang menggerakkan modal untuk membanjiri politik dengan kepentingan.
“Makanya, Indonesia cepat sekali mengalami kesenjangan sosial yang sangat hebat. Indonesia orang kaya-nya paling cepat di dunia tapi yang miskin juga paling cepat. Karena tidak punya kekuatan ideologi sebagai counter dan tidak punya pengetahuan kekuatan pikiran untuk merancang strategi counter hegemoni terhadap ini semua,” pungkas Yudi.
Laporan: Nailin
Artikel ini ditulis oleh: