Jakarta, aktual.com – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menegaskan perubahan teknologi harus direspons dengan pembaruan kerangka hukum.
Saat memberikan pidato kunci pada Konferensi Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) ke-4 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (6/12), ia menekankan konstitusi kini tak lagi dibaca hanya dalam konteks analog.
“Hak-hak warga di ruang digital harus dilindungi dengan standar konstitusional yang sama,” ujar Yusril, seperti dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (11/12).
Dirinya juga menyoroti perlunya penataan ulang sistem pemilihan umum (pemilu) agar lebih sederhana dan berintegritas, khususnya dalam menghadapi era kampanye dan data politik digital.
Dikatakan bahwa digitalisasi pemilu tidak boleh menjadi celah manipulasi, sehingga sistemnya harus jelas, aman, dan dapat diaudit.
Sementara terkait ekonomi ketatanegaraan, dia menyoroti pentingnya pengelolaan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang akuntabel.
Menurut Menko, pengawasan publik dan lembaga negara harus diperkuat untuk mencegah penyalahgunaan aset negara.
“Sovereign wealth fund harus dikelola secara terang benderang. Kita belajar dari banyak negara bahwa dana besar tanpa pengawasan hanya menunggu waktu untuk bermasalah,” kata dia.
Dengan demikian dalam kesempatan tersebut, Yusril menegaskan tiga agenda utama ketatanegaraan, yakni penguatan konstitusionalisme digital, reformasi pemilu, dan tata kelola Danantara yang lebih transparan.
Konferensi APHTN-HAN ke-4 di Labuan Bajo menjadi ruang diskusi antara akademisi dan pembuat kebijakan mengenai arah ketatanegaraan Indonesia di tengah transformasi digital dan dinamika ekonomi global.
Menko berharap agar rekomendasi konferensi tidak berhenti pada tataran wacana, tetapi diterjemahkan menjadi kebijakan konkret.
Sebelumnya, Yusril sudah pernah mengingatkan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) membawa peluang besar sekaligus ancaman baru bagi sistem hukum.
Saat mengisi kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Rabu (27/8), Yusril mengatakan kecerdasan buatan boleh canggih, tetapi AI tetap lahir dari rangkaian kode buatan manusia.
“Karena itu, pertanggungjawaban hukum tetap pada manusia, bukan mesin,” ujar Yusril.
Yusril pun menyoroti dilema antara kebutuhan hukum yang adaptif dan progresif dengan kepastian hukum. Ia menekankan pentingnya regulasi baru, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, serta etika penggunaan kecerdasan buatan.
Menurut mantan menteri sekretaris negara itu, kecerdasan buatan tidak boleh menggantikan fungsi penilaian hukum yang menjadi domain manusia.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















