Kepada wartawan Yusril menyatakan, Penerapan Pasal 158 UU Pilkada di Aceh dinilai menyebabkan kliennya Muzakir Manaf-TA Khalid dirugikan, menurutnya di Aceh seharusnya berlaku pasal khusus yang mengatur pilkada di Aceh, yaitu pasal 74 UU Aceh, bukan pasal 158 UU Pilkada. Untuk itu, ia berencana akan mengajukan keberatan ke MK. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Sepanjang sejarah Indonesia berdiri, beberapa gerakan separatis telah diberikan abolisi oleh Presiden. Meskipun berupaya membebaskan diri dari NKRI, beberapa Presiden tetap menghadiahkan abolisi dan amnesti bagi para aktor-aktor gerakan separatis tersebut.

Tercatat, ada dua Presiden Indonesia yang memberikan abolisi terhadap gerakan separatis, yakni Soekarno dan Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden pertama sekaligus Proklamator Indonesia, Soekarno pernah memberikan abolisi serta amnesti kepada tokoh-tokoh pemberontakan gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Semesta (Permesta) pada era demokrasi terpimpin. Sedangkan SBY memberikan abolisi dan amnesti untuk para tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada era reformasi.

Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa dua kasus di atas membuktikan bahwa abolisi dan amnesti dapat diberikan kepada siapa pun, termasuk para tokoh yang dianggap sebagai pemberontak sekalipun. Ia pun membandingkan kedua kasus tersebut dengan yang dihadapi Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq.

“Habib Rizieq tidak separah GAM dulu atau PRRI. GAM aja bisa dikasih abolisi amnesti tapi dengan ketentuan, kalau gencatan senjata dilanggar, abolisi itu gugur,” paparnya saat ditemui usai buka bersama yang digelar Partai Bulan dan Bintang (PBB) di Jakarta, Rabu (21/6).

Dalam kesempatan tersebut, Yusril membantah ucapan Menkopolhukam Wiranto yang menyebut bahwa abolisi hanya dapat diberikan kepada pihak-pihak yang dianggap setara dengan pemerintah Indonesia. Menurutnya, Presiden dapat mengeluarkan abolisi kepada setiap rakyat Indonesia, termasuk Habib Rizieq.

“Dan bahwa negara melakukan rekonsiliasi rakyatnya itu biasa terjadi, tidak berarti bahwa rekonsiliasi itu harus yang setara dengan pemerintah,” jelasnya.

“Dan tidak berarti tapol (Orde Baru) yang diberi abolisi dan amnesti oleh Pak Habibie itu setara dengan pemerintah, tidak sama sekali. Jadi (amnesti dan abolisi) itu bisa dikeluarkan dengan niat baik dan itikad baik pemerintah,” imbuh Ketua Umum PBB ini.

Mantan Mensesneg ini menerangkan bahwa abolisi merupakan langkah awal yang jadi kunci dalam proses rekonsiliasi antara antara Habib Rizieq dan pemerintah. Pasalnya, akan ada langkah-langkah selanjutnya yang harus dilakukan agar rekonsiliasi menjadi optimal.

“Dengan abolisi ini nanti disusul dengan rekonsiliasi jadi tahapannya tidak sekaligus,” ujarnya.

Yusril percaya bahwa rekonsiliasi ini merupakan jalan terbaik untuk kepentingan bangsa dan negara. Terlebih, rekonsiliasi juga menunjukkan sisi kenegarawanan yang berjiwa besar di antara semua pihak.

Terlebih, abolisi dan amnesti bukan hal baru di Indonesia karena telah dikeluarkan beberapan Presiden Indonesia di masa lampau.

“Bung Karno pernah mengeluarkan rekonsiliasi terhadap PRRI Permesta, Presiden Habibie pernah mengeluarkan mengusir kepada semua tapol orde baru dan SBY memberikan amnesti abolisi kepada yang terlibat dalam gerakan Aceh Merdeka,” pungkasnya.

Teuku Wildan

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan
Arbie Marwan