Kepada wartawan Yusril menyatakan, Penerapan Pasal 158 UU Pilkada di Aceh dinilai menyebabkan kliennya Muzakir Manaf-TA Khalid dirugikan, menurutnya di Aceh seharusnya berlaku pasal khusus yang mengatur pilkada di Aceh, yaitu pasal 74 UU Aceh, bukan pasal 158 UU Pilkada. Untuk itu, ia berencana akan mengajukan keberatan ke MK. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dinilai dapat menjadi ajang demokrasi yang inkonstitusional jika berlandas hukum pada regulasi terdahulu. Deadlock-nya antara pemerintah dan DPR memicu wacana diberlakukan regulasi terdahulu sebagai landasan hukum Pemilu dua tahun mendatang.

Menurut Yusril, Pemilu 2019 harus menggunakan regulasi tersendiri yang sesuai dengan aspek keserentakan.

“Karena itu, pemerintah ini mengatakan kalau ini deadlock (jadi) pakai undang-undang yang lama. Risikonya adalah pemilu 2019 menjadi inkonstitusional,” ungkapnya di Jakarta, Rabu (21/6).

Bagi Yusril, deadlock tidak dapat menjadi alasan untuk kembali memakai regulasi terdahulu karena pemerintah dan DPR memiliki waktu sejak tiga tahun silam untuk merancang UU Pemilu yang baru.

“Karena keputusan MK mengatakan bahwa pemilu serentak harus dilaksanakan 2019, sementara ndang-undang yang ada sekarang itu bukan pemilu serentak,” jelasnya.

“Selama lima tahun itu kan pemerintah  harus mempersiapkan perangkat perundang undangannya tapi sampai sekarang ini belum siap juga,” imbuhnya.

Pemilu serentak 2019 sendiri diadakan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013. Seperti yang diketahui, bersama akademisi asal UI Effendi Ghazali, Yusril merupakan salah satu penggugat yang menginiasi keputusan MK tersebut.

“Pemilu serentak itu kan saya juga usulkan dan Effendi Ghazali juga. Saya pada saat itu kan usulkan pemilu serentak dilakukan pada 2014. tapi MK mengatakan pemilu serentak tahun 2019,” kisahnya.

Jika kembali menggunakan regulasi terdahulu, artinya Pemilu 2019 akan berlandaskan pada UU No 48 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) dan Undang-Undang nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau UU Pileg.

Kedua UU tersebut, lanjutnya, tidak dapat dijadikan payung hukum terhadap pelaksanaan Pemilu serentak 2019.

“Masih memisahkan antara Pileg dengan Pilpres,” pungkasnya.

Teuku Wildan

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Teuku Wildan
Editor: Arbie Marwan