Mencari kebenaran di media massa, apalagi di media sosial, saat ini ibarat mencari sebuah jarum dalam tumpukan jerami. Sangat sulit. Bermacam ragam informasi dari berbagai sumber ada di sana. Semua orang bisa mengakses informasi, dan pada saat yang sama juga bisa mengunggah dan menyebarkan informasi.
Kita adalah konsumen, sekaligus produser informasi. Tak heran, di era internet ini, kita tidak kekurangan informasi, tetapi justru bingung dan megap-megap karena berlimpahnya informasi. Sedangkan gunungan informasi itu tercampur baur, antara informasi yang punyai nilai tertentu dan informasi yang cuma bernilai sampah.
Dibutuhkan keahlian tertentu untuk bisa memilah-milah, mana informasi yang benar, informasi setengah benar, dan mana informasi yang bohong. Sayangnya, mayoritas konsumen informasi di media tidak memiliki cukup keterampilan untuk memilah informasi. Maka sebagian besar mereka betul-betul menjadi “korban” informasi, manakala mereka menelan bulat-bulat semua informasi yang tersebar di media.
Seorang praktisi propaganda mengatakan, kebohongan yang diulang-ulang terus-menerus lama-lama akan menjadi kebenaran. Pernyataan itu tepat sekali, seperti contoh, kasus yang saya ceritakan ini. Bemula dari seorang penyanyi dangdut, Zaskia Gotik, yang membuat pernyataan menghebohkan di media tentang Pancasila. Ucapan itu menunjukkan ketidaktahuan Zaskia tentang Pancasila.
Tak lama setelah itu, muncul berita di media infotainment bahwa Zaskia Gotik telah dipilih menjadi “Duta Pancasila.” Berita itu memunculkan kritik dan kecaman kepada pemerintah, kok orang yang tidak tahu Pancasila justru ditunjuk jadi “Duta Pancasila?” Di mana logikanya? Apakah pemerintah sudah bertindak ceroboh?
Tetapi, faktanya Zaskia Gotik memang tidak pernah jadi “Duta Pancasila,” meski heboh jadi “Duta Pancasila” itu sudah terlanjur diramaikan oleh sejumlah program infotainment. Berita “Zaskia Gotik menjadi Duta Pancasila” itu sebenarnya adalah hasil “plintiran” media. Demikian yang saya simpulkan setelah bicara dengan salah satu pejabat di Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI, Jakarta, belum lama ini.
Kejadian yang sebenarnya, menurut versi pejabat itu, Zaskia Gotik atas kemauan dan kehendak sendiri (artinya, tidak dianjurkan apalagi disuruh oleh Kemhan) telah mendaftar untuk ikut program bela negara. Bela negara adalah program resmi Kemhan RI, yang bertujuan menanamkan semangat bela negara, nasionalisme, dan patriotisme, khususnya pada generasi muda yang dikhawatirkan mengalami erosi nilai-nilai kebangsaan.
Dalam “kurikulum” nya, peserta program bela negara ini tentu diberi materi tentang Pancasila, UUD 1945, semangat cinta Tanah Air, dan sebagainya. Program ini bisa diikuti oleh setiap warga negara Indonesia. Tidak ada yang luar biasa dengan keikutsertaan itu, karena para pembaca dan saya juga bisa mendaftar untuk mengikutinya.
Nah, singkat cerita, pejabat Kemhan jadi terkaget-kaget ketika sejumlah media memberitakan bahwa Zaskia Gotik sudah menjadi “Duta Pancasila.” Padahal Kemhan tidak tahu-menahu dan tidak pernah mengangkat Zaskia Gotik menjabat posisi semacam itu. Bahkan sampai hari ini tidak posisi atau jabatan resmi resmi “Duta Pancasila.”
Namun, pemberitaan tentang Zaskia sebagai “Duta Pancasila” itu sudah begitu meluas dan masif, sehingga pihak Kemhan bingung bagaimana untuk membantahnya. Akhirnya, berita hasil plintiran wartawan itu dibiarkan saja oleh pejabat Kemhan, dengan harapan pelan-pelan isu itu akan mereda sendiri. Dan, akhirnya memang demikian.
Tetapi saya tetap berpendapat, sesuatu berita yang keliru sebaiknya tetap dikoreksi. Karena publik dan masyarakat Indonesia berhak mengetahui kebenaran faktanya. Jangan biarkan mereka berpikir negatif terhadap Kemhan untuk hal-hal yang tidak penah dilakukan Kemhan.
Nah, inilah fenomena di media kita, yang berimbas juga di media sosial. Berkat kemajuan teknologi internet, banyak berita plintiran, setengah benar, setengah bohong, setengah fiksi, bisa beredar bebas dan meluas di mana-mana. Celakanya, berita ngawur dan palsu itu (orang menyebutnya “hoax”) sudah berulang-ulang disampaikan, dan oleh publik terlanjur dianggap sebagai kebenaran.
Kita atau instansi pemerintah manapun sulit menangkal berita palsu yang membanjir di media semacam ini. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah pendidikan literasi media. Literasi media ini penting agar masyarakat semakin kritis. Dengan kekritisan itu, mereka tidak akan menelan bulat-bulat begitu saja berita yang muncul di media. ***
Artikel ini ditulis oleh: