Jakarta, Aktual.com — Mantan Direktur Pelayanan Haji Kementerian Agama, Zainal Abidin Supi membenarkan jika anggota Komisi VIII DPR periode 2009-2014, menitipkan ratusan jemaah untuk mengisi sisa kuota haji nasional pada 2010. Pengakuan itu tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan milik Zainal.

Awalnya fakta terungkap, ketika jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi Abdul Basir membacakan BAP Zainal. “Saudara menjelaskan di 2010, ada pemanfaatan sisa kuotahaj untuk DPR RI Komisi VIII, non komisi VIII, TNI, Polri, masyarakat. Komisi VII, 69 orang, non komisi VII tiga ratus orang,” kata Jaksa Basir sambil membacakan BAP Zainal di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (4/11).

Zainal pun kemudian membenarkan isi pernyataan yang tertuang dalam BAP. “Betul,” jawab Zainal membenarkan isi BAP miliknya.

Jaksa Basir kemudian bertanya mengenai anggota DPR yang menitipkan nama untuk menjadi jemaah haji pada 2010. Jaksa menyebut dua anggota DPR yakni, Zainuddin Ahmadi (Komisi VIII dari fraksi PDIP) dan Ade Komarudin (fraksi Golkar).

“Iya ada (jemaah dari Zainuddin Hamadi) Komisi VIII. (Ade Komarudin) ada,” kata Zainal.

Menurut Zainal, untuk memanfaatkan sisa kuota haji nasional terdapat tiga tahapan. Dia menjelaskan, utamanya sisa kuota haji diberikan kepada jemaah yang sudah mendaftar dan mendapatkan nomor urut. Pada intinya, pemanfaatan sisa kuota haji itu diperuntukkan bagi jemaah yang sudah terdaftar menjadi calon jemaah, baik itu yang sudah melunasi pembayaran atau belum.

“Sisa kuota haji nasional setelah tiga tahap diberikan kesempatan kepada jamaah. Tahap pertama seusia nomor urut dan pembagian kuota di Provinsi, diberikan waktu satu bulan. Setelah sebulan, jika masih ada sisa di Provinsi, maka turun ke nomor berikutnya, kalau masih tersisa 500, maka turunlah sampai nomor yang sisa 500, itu diberikan waktu 7 hari. Masih juga tidak terpenuhi, masih diberikan kesempatan kepada jamaah secara nomor urut untuk melunasi. Untuk jumlah yang kuota belum terpenuhi atau terpakai. Setelah tiga tahap, kita berikan jamaah untuk melunasi, maka kebijakan pimpinan, menjadi kuota nasional,” kata Zainal.

Dalam persidangan Zainal menyebut, bahwa pada 2010 Indonesia mendapatkan kuota haji sebanyak 211.000 jemaah. Kuota yang diberikan itu sebagian besar sudah terisi, hanya tersisa sekitar 1.000 kursi lagi. “(Kuota haji 2010) 211.000 jemaah. (Sisa kuota) 1.600,” kata dia.

Dalam surat dakwaan milik Suryadharma Ali disebutkan, bahwa pada 2010 terdapat sisa kuota sejumlah 1.618 jemaah, dari kuota haji nasional sejumlah 221.000. Sisa kuota tersebut oleh Terdakwa dijadikan sebagai sisa kuota nasional.

Untuk memanfaatkan sisa kuota haji nasional, Suryadharma selaku Menteri Agama menggelar rapat berbagai pihak terkait. Dalam rapat tersebut mantan Ketua Umum PPP itu memutuskan, penggunaan sisa kuota haji nasional, tidak mengutamakan calon jemaah haji yang masih dalam daftar antrian, namun mengutamakan calon jemaah haji yang diusulkan oleh anggota DPR-RI, khususnya anggota Komisi VIII.

Suryadharma kemudian menyetujui permintaan dari anggota DPR, instansi terkait maupun perorangan untuk memberangkatkan calon jemaah haji yang tidak berdasarkan antrian sesuai nomor porsi, seluruhnya sejumlah 288 jemaah. Dan kemudian memerintahkan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Slamet Riyanto dan Zainal untuk memberangkatkan para jemaah itu.

Selanjutnya, Zainal memberitahu para calon jemaah haji tersebut melalui Kepala Kanwil Kementerian Agama masing-masing provinsi, agar melakukan pelunasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Padahal, ratusan jemaah itu sebenarnya tidak bisa diberangkatkan.

Dari 288 calon jemaah yang diajukan DPR, hanya 161 orang yang telah melunasi BPIH hingga batas akhir. Pemberangkatan 161 jemaah haji tanpa berdasarkan antrian, nomor porsi itu mengakibatkan nilai manfaat setoran BPIH yang telah disetorkan 161 jemaah haji hanya sejumlah Rp139.772.527,17.

Sehingga belum cukup untuk membayar biaya tidak langsung (indirect cost), seperti biaya penerbangan petugas kloter, ‘general service’ dan biaya operasional baik di dalam negeri maupun di Arab saudi, yang seharusnya sejumlah Rp872.347.537,75.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu