Jakarta, Aktual.com — Bupati Pulau Morotai, Rusli Sibua dituntut oleh jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi, pidana penjara selama enam tahun dan denda sebesar Rp 300 juta subsidair empat bulan kurungan. Rusli diyakini telah terbutk menyuap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar sebesar Rp 2,989 miliar.

“Kami penuntut umum dalam perkara ini, menuntut supaya Majelis Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan putusan dengan amar menyatakan terdakwa Rusli Sibua telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi,” ujar Jaksa KPK, Eva Yustiana, saat membacakan surat tuntutan untuk Rusli, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (9/11).

Selain tuntutan penjara dan denda, jaksa KPK juga meminta Majelis Hakim membuat putusan untuk mencabut hak politik Rusli dalam pemilihan umum. “Menghukum terdakwa Rusli Sibua dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik, pada pemilihan yang dilakukan selama 10 tahun,” papar Jaksa Eva.

Suap kepada Akil, sambung Jaksa, diberikan untuk mempengaruhi putusan atas gugatan terkait hasil pemungutan suara dalam Pilkada Pulau Morotai pada 2011 silam. Tujuannya agar permohonan Rusli dengan pasangannya Weni R Paraisu dikabulkan MK.

Rusli sendiri menggugat hasil Pilkada Pulau Morotai yang memenangkan pasangan Arsad-Demianus sebagai Bupati dan Wakil Bupati Morotai periode 2011-2016 dengan perolehan suara 11.455.

Sedangkan Rusli dan pasangannya hanya memperoleh suara sebanyak 10.649 suara. Untuk menggugat hasil KPU, Rusli menunjuk Sahrin Hamid sebagai kuasa hukum. Dari peritiwa tersebut, suap menyuap antara Rusli dan Akil mulai direncakana.

Pada saat proses pemeriksaan atas gugatan Rusli berjalan di MK, Akil Mochtar menelepon Sahrin. Akil meminta Sahrin menyampaikan kepada Rusli agar menyiapkan uang sebesar Rp 6 miliar, untuk memenangkan keberatan yang diajukan.

“Akil Mochtar menelepon Sahrin Hamid agar menyampaikan ke terdakwa menyiapkan uang Rp 6 miliar agar gugatan terdakwa dimenangkan,” ujar Jaksa KPK Ahmad Burhanuddin.

Namun demikian, Rusli tidak mau memenuhi permintaan Akil. Dia justru menawarkan uang sebesar Rp 3 miliar untuk diberikan ke Akil. “Untuk memenuhi permintaan uang Akil Mochtar, maka terdakwa mengusahakan uang Rp 3 miliar dengan cara meminjam kepada Petrus Widarto yang nantinya akan dikompensasikan dengan investasi Petrus di Kabupaten Pulau Morotai apabila terdakwa menjadi Bupati,” jelas Jaksa.

Hingga akhirnya, Akil Mochtar menerima tawaran Rusli, dan memerintahkan agar uang tersebut ditransfer ke rekening tabungan atas nama CV Ratu Samagat pada Bank Mandiri. Jaksa menyebut uang tersebut dikirim dalam dua tahap yakni, Rp 1 miliar pada 16 Juni 2011 dan Rp 1,989 miliar pada 20 Juni 2011.

“Setelah uang dikirim, Sahrin Hamid memberitahukan kepada Akil Mochtar. Selanjutnya setelah pemberian uang tersebut terdakwa mengkonfirmasi pada Sahrin Hamid dalam suatu pertemuan di Hotel Borobudur menanyakan kepada Muchlis Tapi-Tapi dan Sahrid Hamid,” kata Jaksa menyebutkan kode ‘mantap’ dan ‘beres’ sebagai bentuk komunikasi pengiriman uang sudah dilakukan.

Setelah pemberian uang, MK dalam amar putusannya pada 20 Juni 2011 sambung Jaksa membatalkan rekapitulasi hasil penghitungan suara KPU Morotai dan menetapkan pasangan calon Rusli-Weni sebagai pemenang Pilkada.

“Terdakwa mengetahui dan menghendaki bahwa uang yang diberikan tersebut adalah untuk mempengaruhi putusan,” tegas Jaksa.

Rusli diyakini melakukan tindak pidana korupsi dengan ancaman pidana Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby