Jakarta, Aktual.com – Segala cara dihalalkan agar Mega Proyek Reklamasi Teluk Jakarta bisa digolkan. Salah satu kampanye yang mereka kembangkan adalah dengan menciptakan mitos bahwa Reklamasi Teluka Jakarta dimaksud agar Jakarta jadi kota yang modern dan bersifat kosmopolitan sehingga punya daya tarik bagi investor asing.
Bagaimana strategi para pengembang dan para pejabat pemerintah baik pusat dan daerah untuk membujuk masyarakat agar mendukung proyek Reklamasi Jakarta?
Pada tataran ini, menarik konsep yang dikembangkan seorang filsuf dan pakar semiotika asal Perancis, Roland Barthes. Yaitu menggunakan mitos sebagai perangkat pendukung untuk mengkampanyekan dukungan masyarakat dan media terhadap Proyek Reklamasi Jakarta. Menurut Barthes, mitos bisa diartikan sebagai suatu proses pembentukan kebiasaan yang lambat lauj dapat menjadi kepercayaan umum dalam masyarakat.
Salah satu mitos yang dikembangkan terkait Reklamasi Teluk Jakarta, betapa masyarakat Jakarta mrmbutuhan reklamasi sebagai wahana untuk meningkatkan pekonomian baik dalam lingkup nasional maupun sebagai tambahan pemasukan bagi Pemprov DKI Jakarta.
Mitos kedua, masyarakat digiring pada suatu opini bahwa Proyek Reklamasi dimaksudkan sebagai wahana untuk pengembangan teknologi modern, selain untuk menghambat penurunan tanah yang terus terjadi di Jakarta.
Celakanya, banyak lapisan masyarakat yang percaya begitu saja dengan mitos semacam itu. Padahal kalau kita jeli menelisik ulah para konglomerat Cina di era pemerintahan Suharto, mitos semacam itu sangat bertolak-belakang dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Benarkah pengurugan tanah dalam rangka mencegah penurunan tanah memang benar-benar merupakan hal positif? Pengurugan skala besar di wilayah Jakarta ternyata sudah pernah dilakukan sebelum era 1980-an. Tengok saja misal, Taman Impian Jaya Ancol yang kita kenal sekarang. Taman Impian Jaya Ancol merupakan proyek besar pertama yang disertai adanya pengurugan tanah dalam skala besar oleh para pengembang properti.
Bukan itu saja. Ternyata para taipan properti berhasil menyulap beberapa kawasan rawa yang ada di Jakarta menjadi perumahan mewah. Para taipan ini disebut sebagai pihak yang bertanggung jawab atas berkurangnya area rawa di Jakarta yang kini hanya sekitar 2.000 km. Luas ini hanya 10% dibandingkan luas rawa yang mencapai 20.000 km di Jakarta pada abad lalu.
Tak heran jika para pendukung Mega Proyek yang didukung dari belakang layer oleh para para taipan pendorong mega proyek ini kemudian mengembangkan mitos dengan mengajukan dalih bahwa masyarakat di sekitar pantai harus direlokasi karena Proyek reklamasi dimaksud sebagai upaya modernisasi,
Padahal kalau kita telanjangi mitos tersebut, maka nyatanya membuat para nelayan dan masyarakat di sekitar pantai harus beralih profesi karena relokasi tersebut. Belum lagi dengan dampak budaya di kawasan sekitar pantai yang tentunya harus menyesuaikan diri (baca: dipaksa berubah) karena adanya reklamasi ini.
Di sinilah konsepsi Roland Barthes jadi menarik untuk diurai. Sebab mitos itu sendiri dalam kerangka Barthes, sejatinya merupakan operasi ideologi. Atau kalau tidak mau dikatakan sebagai sarat ideologi. Sehingga mitos dengan sengaja diciptakan untuk membangun suatu kepercayaan di mata publik bahwa sebuah kebijakan yang dibuat pemerintah adalah bagus dan bermanfaat buat masyarakat luas.
Sebuah mitos yang ditanamkan kepada masyarakat bahwa pembangunan dan inovasi adalah sesuatu yang mutlak dibutuhkan Jakarta. Inilah yang sesungguhnya sekarang sedang dilancarkan pemerintahan Ahok-Djarot secara berulang-ulang, sehingga terciptalah sebuah mitos tentang pentingnya modernisasi dan uang, kalau Jakarta dan warga Jakarta ingin maju.
Begitulah. Modernisasi sebagai sebuah mitos telah dilakukan dengan berbagai cara sebagai dalih dan alasasn pemebenaran , untuk merusak lingkungan, menggusur rakyat kecil, mengurug rawa, membuat pulau buatan hingga melakukan penetrasi kepada para politisi partai, untuk menggolkan kepentingannya mewujudkan Mega Proyek Reklamasi.
Masyarakat pun terpaksa percaya dengan ini karena dicekoki informasi-informasi yang sejatinya dibangun oleh taipan reklamasi. Realitas semakin dikaburkan dan ditutupi dari masyarakat. Yang kabur dilihat sebagai hal yang jelas, dan yang nyata dipandang sebagai sesuatu yang kabur.
Alhasil, mitos reklamasi, yaitu modernisasi dan uang, membuat masyarakat percaya bahwa Jakarta memerlukan modernisasi dan modernisasi mutlak hanya dipandang dari sisi ekonomi atau investasi tanpa melihat aspek lainnya seperti budaya, lingkungan dan kemanusiaan.
Teuku Wildan dan Hendrajit