“Jika anda menguasai sektor energi dan migas, maka anda menguasai negara. Jika anda menguasai sektor pangan dan pertanian, maka anda menguasai kehidupan rakyat.”(Henry Kissinger, Mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat)
Jakarta, Aktual.com — Dalam metode investigasi orang barat, kerap dalang dan orang yang punya hajat seakan orang yang sama. Dalam metode kita di timur, dalang baru berperan jika ada orang yang punya hajat. Sebaiknya dengan dasar pandangan inilah Kisruh Freeport diungkap. Jangan hanya sibuk meminta tanggungjawab orang-orang di tingkat tertinggi pemerintahan atau DPR, tanpa bongkar konspriasi mengapa semua itu bisa terjadi.
Kalau nonton film dokumenter wawancara Frost dengan mantan presiden Richard M Niixon, berkenaan dengan skandal Watergate yang akhirnya menggusur Nixon dari kepresidenan, sebaiknya baca dulu buku Webster Tarpley, George Herbert Bush, Un-authorised Biography. Sebab, David Frost dan dua timnya, Bob Zulick dan James Reston, terperangkap pada asumsi Nixon sebagai tokoh sentral alias dalang dalam skandal Watergate pada 1976 tersebut. Padahal, dalang baru berperan kalau ada orang yang punya hajat. Itulah kelemahan metode ivestigasi orang barat.
Begitu asyiknya menyasar Nixon dan orang-orang dekatnya seperti Bob Haldelman, Robert Michels, dll, lupa untuk menyelidiki sepak-terjang George Herbert Walker Bush yang waktu itu menjabat Direktur CIA.
Ada skema besar dari Dinasti Rockefeller, agar Nelson Rockefeller yang waktu itu gagal jadi presiden maupun wakil presiden pada pemilu presiden 1972, bisa diunggah jadi wakil presiden.
Caranya, jatuhkan Nixon, lalu naikkan wapresnya yang namanya Geral Ford sebagai presiden baru. Dan Nelson Rockefeller jadi wakil presiden dampingi Ford. Maka skenario menggusur Nixon pun dilakukan melalui pionnya dinasti Rockefeller yang sudah ditanam di Gedung Putih, yaitu Menteri Luar Negeri Henry Kissinger. Bekerjasama dengan George Herbert Bush yang mengendalikan CIA.
Singkat kisah, Nixon Jatuh, Ford jadi presiden, dan wakil presiden baru adalah Nelson.
Jadi, dalam kasus Freeport sekarang ini, memang ini skandal besar. Tapi baiknya pahami kasus ini dalam perspektif kisah di atas. Supaya jangan menarik di atas gendang lawan.
Siapa sang pemilik hajat sesungguhnya sehingga meletupnya kisruh Freeport pada perkembangannya berhasil membelah para menteri dalam kabinet pemerintahan Jokowi-JK? Untuk menjawab ini, kita harus membongkar kembali cerita lama seputar sepak-terjang sebuah perusahaan pertambangan dan energi AS yang beroperasi di Papua sejak 1967, PT Freeport McMoran. Dialah sang pemilik hajat sesungguhnya.
Untuk melestarikan kehadirannya di Indonesia, bagi Freeport sekadar hitung-hitungan investasi ekonomi, melainkan merupakan mata-rantai investasi politik sekaligus simbol penjajahan ekonomi Amerika Serikat di Papua.
Sejak Indonesia merdeka dari jajahan Belanda pada 17 Agustus 1945, Papua merupakan wilayah yang jadi sasaran strategis pemerintahan Amerika Serikat yang mewakili kekuatan-kekuatan korporasi global di belakangnya. Bahkan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton di Foreign Affairs magazine sempat menyebut judul artikel yang ditulisnya “Americas’s Pacific Century” yang secara tersirat adanya desain besar untuk menguasai provinsi Papua berikut sumber daya alamnya yang kaya emas dan tembaga itu.
Desakan kalangan korporasi global di Washington untuk memperpanjang kontrak karya Freeport barang tentu tak bisa dilepaskan dari kepentingan nasional AS untuk menguasai sektor energi/migas maupun tambang batubara. Seperti doktrin mantan Menteri Luar Negeri Henri Kissinger: Jika anda menguasai sektor energi dan migas, maka anda menguasai negara. Jika anda menguasai sektor pangan dan pertanian, maka anda menguasai kehidupan rakyat.”
Maka Papua, jadi pertaruhan besar bagi AS untuk dipertahankan karena kaya akan kandungan sumberdaya alam di bidang energi dan tambang batubara. Bukan itu saja. Sebagai pemasok sumberdaya alam, Indonesia dipandang menguntungkan bagi pengembangan industri Amerika Serikat. Diperkirakan hingga kini sudah lebih dari 300 perusahaan milik AS yang beroperasi di Indonesia, yang sebeagian besar dana investasinya ditanam pada perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan dan energi.
Di sinilah Papua sebagai salah satu daerah penghasil sumberdaya alam di Indonesia, jadi amat penting bagi AS. Bukti nyata adalah beroperasinya beberapa perusahaan pertambangan dan energi AS di Papua seperti: PT Freeport McMoran, Conoco Philips, dan British Petroleum.
Namun demikian, sepak-terjang Freeport lah yang paling spektakuler sekaligus menggambarkan dirinya sebagai VOC gaya baru di Indonesia.
Aktivitas pertambangan PT Freeport McMoran Indonesia (Freeport) di Papua dimulai sejak 1967 berdasarkan Undang_undang No 1 mengenai Penanaman Modal Asing, dan masih berlangsung hingga sekarang, yang berarti sudah 48 tahun. Hampir setengah abad. Namun meskipun selama kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua telah mencetak keuntungan finansial yang besar bagi perusahaan asing, tapi hingga sekarang belum memberikan manfaat optimal bagi negara kita, Papua, maupun masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan.
Begitu mendapat Kontrak Karya, Freeport dapat konsesi penambangan di wilayah seluas 24.700 acres atau seluas kurang lebih 1000 hektar lahan. Masa berlaku kontrak karya yang pertama adalah 30 tahun. Pada 1991, kontrak karya diperpanjang jadi 30 tahun dengan opsi perpanjangan 2 kali 10 tahun. Sehingga kontrak karya tersebut akan berakhir pada 2021 jika pemerintah Indonesia menolak usul perpanjangan.
Bagi AS hal ini jelas merupakan perkembangan yang cukup menghawatirkan mengingat kenyataan bahwa sejak kontrak karya diperpanjang oleh pemerintah Indonesia pada 1991, ternyata luas penambangan Freeport bertambah, dengan adanya Blok B seluas 6,5 juta acrs atau seluas 2,6 hektar lahan. Dari Blok B ini yang sudah dilakukan adalah kegiatan eksplorasi seluas 500 ribu acres atau sekitar 203 ribu hektar lahan.
Bisa dipahami jika AS sekarang ketar-ketir. Saat ini di Darwin ditempatkan sekitar 22.750 personil pasukan Navy Seal AS, yang notabene dalam struktur kemiliteran AS dipandang sebagai “angkatan keempat” dan punya fungsi sebagai pasukan penyerbu, pasukan perintis dan pembuka jalan. Sekadar informasi, jarak tempuh Darwin ke Papua hanya 820 km. Tak heran jika pakar pertahanan Australia Profesor Dr Robin Tennant Wood dari Canberra University menilai bahwa penempatan 22.750 pasukan Navy Seal di Darwin itu merupakan ancaman terhadap Papua dan keutuhan NKRI.
Bagi AS dan kepentingan-kepentingan korporasi-korporasi tambang dan batubara yang berada dalam kendali kekuasaan dinasti Rockefeller, Papua memang sasaran strategis dan vital. Maka, memperpanjang kontrak karya Freeport dengan pemerintah Indonesia, jadi masalah yang amat mendesak bagi Washington. Freeport praktis bisa kita ibaratkan jadi “lumbung padi-nya” tambang emas Amerika Serikat.
Sejak Maret 1973, Freeport mulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan yang selesai ditambang pada 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Pada 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung hingga kini.
Dari kedua eksploitasi di kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 juta emas telah mereka keruk. Pada Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4 km pada daerah seluas 499 hektar dengan kedalam 800 m2.
Aktivitas Freeport yang berlansung dalam kurun waktu lama ini telah menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal penerimaan negara yang tidak optimal, minimnya peran negara melalui BUMN dan BUMD untuk ikut mengelola tambang serta dampak lingkungan yang cukup menghancurkan dengan rusaknya bentang alam pengunungan Grasberg dan Ertsberg.
Belum lagi fakta bahwa melalui kontrak karya tersebut, betapa kecilnya royalti yang diterima oleh Indonesia. Betapa tidak. Untuk tembaga misalnya, kita hanya dapat royalti sebesar 1,5 persen dari harga jual, sedangkan untuk emas dan perak kita hanya dapat royalty sebesar 1 persen dari harga jual. Keterlaluan memang.
Hanya saja, dari awal mula, landasan kehadiran Freeport di Papua bukan didasari semangat kemitraan yang saling menguntungkan, malah justru untuk menjajah dan menjarah. Buktinya,
Namun di atas semua itu, kontribusi Freeport terhadap pemerintah Indonesia baik royalti, iuran tetap, pajak serta dividen, Indonesia benar-benar dalam posisi yang dirugikan. Untuk royalty hanya dapat 1 persen(emas dan perak) serta 1-3,5 persen (untuk tembaga).
Kalau kita merujuk pada pers rilis dari Freeport selama 2010 sampai dengan Juni, mereka mengklaim sudah memberikan kontribusi sebesar 899 juta dolar AS. Jika dihitung dari tahun 1992 (setelah kontrak karya kedua ditandatangani) kontribusi mencapai 10,4 milyar (royalti sebesar 1,1 milyar dolar AS dan dividen sebesar 1 milyar dolar AS).
Selintas, angka di atas kelihatan besar sekali. Karena itu berarti total kontribusi mencapai Rp 90 triliun. Tapi sesungguhnya itu kecil, karena sebenarnya kontribusi nyata mereka adalah di dividen dan royalti yang nilainya hanya mencapai sekitar Rp 18 triliun selama 18 tahun. Tegasnya, pihak Indonesia mendapatkan perolehan keuntungan yang kecil sekali.
Melalui perolehan keuntungan yang sangat besar seperti itu, ternyata hanya sebagian kecil pendapatan yang masuk ke kas negara dibandingkan keuntungan yang diperoleh Freeport. Bahkan kehadiran Freeport tidak mampu menyejahterakan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan tersebut. Padahal, saat ini Freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, yang didalamnya termasuk 34,5 persen tembaga dan 96,73 persen cadangan emas.
Sedihnya lagi, jumlah volume emas yang ditambang Freeport selama 21 tahun tersebut ternyata tidak pernah diketahui publik. Sehingga sempat mengundang kecurigaan kalangan DPR pada 2014 lalu bahwa jangan-jangan ada manipulasi dana atas potensi produksi emas Freeport. Bahkan DPR komisi VI pada waktu itu sempat tidak percaya atas data kandungan konsentrat yang diinformasikan secara sepihak oleh Freeport.
Meski kita tidak tahu persis jumlah volume emas yang ditambang Freeport selama 21 tahun, namun kenyataannya saat ini Freeport merupakan perusahaan emas penting di Amerika yang merupakan penyumbang emas nomor 2 di Amerika setelah Newmont.
Inilah latarbelakangnya mengapa keluar UU No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, yang pada intinya UU tersebut melarang ekspor konsentrat yang belum diolah melalui pabrik olahan atau smelter. Jika UU tersebut dijalankan secara konsisten, perusahaan-perusahaan tambang asing seperti Freeport dan Newmont yang paling akan terkena dampak secara langsung mengingat selama ini Freeport tidak pernah transparan dan terbuka dalam menginformasikan berapa sesungguhnya kekayaan yang berhasil mereka raup dari penambangnya di Papua.
Sayangnya, ketika UU tersebut harus diberlakukan pada 2014, terjadilah penghianatan yang dilakukan oleh pemerintahan SBY. Melalui keluarnya Peraturan Menteri ESDM No 01/2014, Permen tersebut malah dibuat untuk memberikan hak—hak istimewa yang disamarkan kepada Freeport dan Newmont.
Alhasil, Permen O1/2014 itu hakekatnya telah menghancurkan jiwa pasal 33 UUD 1945 yang telah dijabarkan melalui UU Nomor 4 tahun 2009.
Di era pemerintahan Jokowi-JK yang semula sarat dengan penuh harapan bahwa imperialisme ekonomi asing di sektor energi dan migas akan diakhiri sesuai dengan Skema Trisakti dan Nawacita yang jadi janji kampanye Jokowi, malah justru semakin gila lagi.
Menteri ESDM Sudirman Said, bahkan melangkah lebih jauh dalam menabrak semangat UU No 4/2009. Seperti terungkap melalui beberapa dokumen, terungkap Sudirman melalui urat keputusan nomor 7522/13/MEM/2015 tanggal 7 Oktober tentang perpanjangan izin operasi PT Freeport Indonesia sampai tahun 2021, telah memberi izin ekspor konsentrat kepada PT Freeport Indonesia.
Bukan itu saja. dalam surat rekomendasi dari kementrian ESDM kepada Kementrian Perdagangan itu tertulis pemberian izin ekspor konsentrat selama enam bulan kepada PT Freeport, yaitu pada 28 Juli 2015 hingga 26 Januari 2016 dengan kuota ekspor 775 ribu metrik ton (MT).
Pertanyaannya kemudian, apakah Sudirman Said merupakan pemain utama dalam mendalangi penghianatan terhadap UU No 4/2009?
Pada tataran ini, kita tidak boleh terjebak dalam kisruh Freeport yang saat ini tidak saja sekadar perseteruan antara Sudirman Said versus Setya Novanto, maupun antara Menkopolhukam Luhut Panjaitan versus Wapres Jusuf Kalla.
Mereka sedang asyik mengatur strategi di wilayah hulu, mengalirkan riak-riak keruh di wilayah hilir. Kenapa kita asyik bermain di wilayah hilir yang penuh riak-riak keruh itu?
Kontrak Karya Freeport II Diperpanjang di era Mentamben Ginandjar Kartasasmita
Kalau Effendi Simbolon menggambarkan adanya pertarungan dua kongsi antara Sudirman Said versus Muhammad Riza Chalid dalam soal Freeport, saya kira kedua orang yang disebut Effendi baru memunculkan pion-pion dari kedua belah pihak.
Pertarungan yang sesungguhnya dari dua kongsi ini adalah antara Kuntoro Mangkusubroto versus Purnomo Yusgiantoro. Nah perang perwalian alias proxy war Kuntoro dan Purnomo diwakilkan oleh Sudirman Said versus Riza Chalid. Yang kena apesnya, Setya Novanto. Baik Kuntoro maupun Purnomo merupakan “satelit politik” Ginandjar Kartasasmita yang hingga kini masih merupakan orang paling berpengaruh di dalam tubuh Partai Golongan Karya.
Sekadar informasi, bahwa Kontrak Karya II Freeport diperpanjang pada 1991, ketika Ginandjar Kartasasmita masih menjabat Menteri Pertambangan dan Energi era pemerintahan Suharto masa bakti 1988-1993.
Dengan kata lain, intisari kisruh Freeport tersebut sejatinya merupakan pertarungan dua kongsi untuk berebut jadi kompradornya Freeport.
Dalam kekisruhan seperti ini, celakanya Presiden Jokowi justru tetap bungkam seribu bahasa. Dari baku sahut dan baku tuding antara JK dan Luhut, satu temuan lagi muncul. Betapa selama ini, Jokowi sebagai presiden, ibarat dirigen orkestra yang memberi aba-aba bukan atas dasar buku partitur nada hasil aransemen dan gubahannya sendiri selaku presiden melainkan memberi aba-aba kepada semua pemain orkestra yang membaca buku partitur nadanya masing-masing pemain.
Bisa dibayangkan aransemen musik macam apa yang kemudian berkumandang. Dan tragisnya, presiden bersikap pasif ketika daulat ekonomi kita di sektor energi dan pertambangan-batubara benar-benar sedang dalam mara bahaya.
Kenapa Freeport begitu mudahnya mengadu-domba lingkar dalam kekuasaan pemerintahan Jokowi-JK yang sama-sama pingin jadi kompradornya Freeport? Karena sekarang sedang mengalami pelemahan sistem kenegaraan yang ditandai beberapa hal sebagai berikut:
- Sistem yang koruptif di semua tingkatan, baik pusat maupun daerah. Baik Legislatif, Judikatif maupun eksekutif.
- Produk hukum dan perundang-undangan yang berhasil dibelokkan dari pro kepentingan nasional NKRI menjadi pro korporasi asing dan korporasi lokal.
- Memutus keterhubungan antara dunia modern saat ini dengan kearifan lokal atau puncak-puncak kebudayaan masing masing daerah di nusantara.
Karena itu, kisruh Freeport harus dikembalikan ke inti soal yang pada intinya terkait dengan satu isu strategis yaitu adanya desakan berbagai elemen bangsa agar Kontrak Karya Freeport dihentikan, untuk kemudian segera menasionalisasikan aset PT Freeport dengan menyerahkannya kepada BUMN yang dipandang cukup berkompeten.
Maka pada titik krusial ini, Presiden Jokowi barus memberi kejelasan skema dan arahan kebijakan strategis untuk meluruskan kembali kisruh Freeport tersebut.
Jika tidak, Presiden Jokowi bukan bidak dan bukan CEO, namun hanya sekadar papan catur, yang tak kuasa untuk mencegah pertempuran antara dua kongsi besar, yang sama-sama berebut ingin jadi kompradornya Freeport, untuk melestarikan imperialisme ekonomi di Papua.
Artikel ini ditulis oleh:
Hendrajit