Mantan Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro (kanan) berjabat tangan dengan penggantinya Menteri Keuangan yang baru Sri Mulyani (kiri) saat serah terima jabatan di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (27/7). Bambang PS Brodjonegoro resmi menyerahkan kepemimpinan Kementrian Keuangan kepada Sri Mulyani setelah ditunjuk dan dilantik oleh Presiden Joko Widodo untuk menjadi Menteri Keuangan Periode 2016-2019. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/pd/16

Jakarta, Aktual.com-Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) disebut kurang senang dengan langkah Presiden Joko Widodo melakukan reshuffle Kabinet Kerja jilid kedua ini.

“Kursi mereka (PDIP,red) di kabinet memang tidak berkurang, tetapi ketika orang-orang yang kurang mereka sukai tetap dipertahankan dan dimasukan ke dalam kabinet oleh Presiden Jokowi, maka secara politik ini dapat dimaknai pengaruh PDI-P dihadapan Presiden Jokowi cenderung semakin melemah,” ujar Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin, di Jakarta, Rabu (27/7).

Menurutnya pergantian menteri ini semakin menunjukkan lemahnya pengaruh Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dalam pemerintahan Jokowi-JK. Terlebih Jokowi masih mempertahankan Menteri BUMN Rini Soemarno yang tidak disukai oleh PDI-P.

Kondisi semakin buruk ketika Jokowi menunjuk Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan.
“Publik belum lupa bagaimana galaknya PDI-P dulu menolak Sri Mulyani di DPR, tetapi kini tokoh-tokoh PDI-P terpaksa harus duduk satu meja dan bekerja sama dengan Sri Mulyani, termasuk juga dengan Rini Soemarno di dalam Kabinet,” jelas Said.

Kondisi yang semacam itu, lanjut dia, sebetulnya kurang baik bagi Presiden, sebab bagaimanapun PDI-P adalah partai asal Presiden Jokowi, partai yang memungkinkan dirinya menduduki jabatan Presiden, bahkan saat ini menjadi pemilik kursi terbesar di DPR.

“Kalau PDI-P dikecewakan, bisa repot juga Pak Jokowi nanti,” ujarnya.

Hal kedua yang menarik untuk disoroti adalah terkait hanya diberikannya satu kursi kepada Partai Golkar di Kabinet. “Ini agak ganjil juga. Sebab, walaupun terbilang sebagai pendukung baru Permerintah, fakta politik menunjukan Partai Golkar saat ini adalah pemilik kursi nomor dua terbanyak di DPR setelah PDI-P,” ujarnya.

Dengan kekuatannya di Parlemen itu, kata dia, maka satu kursi Menteri Perindustrian untuk Airlangga Hartarto terasa kurang sebanding. Apalagi Golkar sudah mengagendakan untuk mengusung Jokowi sebagai Capres 2019-2024.

Kalau Jusuf Kalla (JK) dan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) tentu tidak tepat untuk dimasukan sebagai unsur yang ‘dikompromikan’ dalam kerja sama politik antara Partai Beringin dengan Pak Jokowi sekarang ini, sebab keberadaan JK dan LBP dilingkungan Istana sejak awal tidak sebagai representasi Golkar, kata Said.

“Jadi jatah satu kursi menteri untuk Golkar dalam kalkulasi politik memang kurang masuk akal. Sebab partai-partai pendukung Pak Jokowi yang lain, yang kepemilikan kursinya di parlemen jauh dibawah Golkar saja punya tiga kursi menteri di Kabinet,” tuturnya.

Artikel ini ditulis oleh: