Serangan teror di Paris, Perancis, tidak akan berhenti dampaknya hanya di negeri Eropa yang jadi pusat mode tersebut. Ada muncul laporan-laporan hari Senin (16/11) bahwa Perancis akan menyerukan penerapan Ayat 5 Perjanjian Pertahanan Bersama (Mutual Defense Treaty) NATO. Pasal pertahanan kolektif NATO itu mewajibkan seluruh anggota NATO, termasuk Amerika Serikat, untuk berperang bersama Perancis melawan musuh: ISIS.
Dalam menanggapi serangan terkoordinasi hari Jumat (13/11) yang menewaskan sekitar 129 orang di kota Paris, Presiden Perancis Francois Hollande mengumumkan hari Sabtu (14/11), pihaknya akan menanggapi dengan perang “tanpa ampun” terhadap kelompok yang bertanggung jawab atas serangan itu. Berbicara dari Bataclan, tempat terjadinya salah satu serangan, ia menyatakan: “Kita akan memimpin perang yang akan bersifat tanpa ampun.”
Pada hari Minggu (15/11), tampaknya sebagai “pembalasan terhadap aksi teror,” 10 pesawat jet tempur Perancis menghajar kota Raqqa, Suriah, yang dikuasai ISIS. Setidaknya 20 bom dijatuhkan di kota itu, kata Kementerian Pertahanan Perancis. Jet-jet itu menghantam sebuah pusat komando dan kontrol, pusat rekrutmen jihad, depot amunisi, dan sebuah kamp pelatihan.
Dalam sebuah pernyataan berbahasa Arab dan Perancis di media online, yang oleh otoritas keamanan dianggap asli, ISIS mengklaim bertanggung jawab atas serangan-serangan di Paris. Serangan-serangan teror itu disebut sebagai “keajaiban” yang dilakukan oleh “delapan saudara yang mengenakan rompi bahan peledak dan senapan serbu.” Paris yang jadi sasaran serangan disebut sebagai “ibukota kemesuman dan penyimpangan.”
Sekjen NATO Jens Stoltenberg mengatakan hari Jumat, aliansi pertahanan itu akan mendukung Perancis dan tetap “kuat dan bersatu” melawan terorisme. Walau Perancis belum mengumumkan apakah pihaknya akan menyerukan pemberlakuan Ayat 5, Stoltenberg memberitahu bahwa para anggota NATO bersiap siaga untuk membantu. “Hal yang penting adalah kami mendukung otoritas Perancis dalam tekad mereka untuk menghadapi ancaman teroris,” ujarnya.
Pasal perjanjian NATO itu menyatakan, jika diminta maka setiap anggota akan wajib membantu negara anggota yang diserang. Sumber militer NATO, yang bisa dioperasikan untuk perang termasuk lebih dari 3.000.000 tentara, 25.000 pesawat tempur, dan 800 kapal perang yang mampu mengarungi lautan. Secara ekonomi, aliansi pertahanan ini juga memiliki kekuatan yang cukup menggentarkan, karena mereka mewakili lebih dari 50 persen Produk Domestik Bruto global.
Pertama kalinya Ayat 5 diserukan adalah sesudah 11 September 2001, saat serangan-serangan teror terhadap gedung kembar World Trade Center di New York dan Washington, yang memicu partisipasi NATO dalam misi militer di Afghanistan. Seandainya Perancis menjadi negara kedua yang akan melakukan hal itu, para duta besar dari 28 negara anggota NATO perlu bertemu untuk berkonsultasi, untuk menentukan rencana aksi. Negara terakhir yang pernah meminta konsultasi itu adalah Turki, sesudah serangan-serangan oleh ISIS pada 2014.
Jika Perancis menyerukan Ayat 5, pada esensinya Perancis telah mendeklarasikan perang, bukan sekadar otoritasi bagi penggunaan kekuatan militer. Bagaimanapun, situasi ini menjadi rumit disebabkan fakta bahwa ISIS berbasis di Suriah, yang sedang dilanda perang saudara. Bukan cuma ISIS yang berada di sana, tetapi juga pasukan militer Suriah yang setia pada Presiden Bashar as-Asad. Pasukan ini berperang melawan ISIS dan melawan pasukan oposisi yang ingin menggulingkan kekuasaan Bashar al-Assad.
Namun, militer Rusia saat ini sedang berada di Suriah, untuk membantu Presiden Suriah Bashar al-Assad. Ketika NATO ingin menyerang ISIS, pasukan NATO harus pergi ke Suriah di mana militer Rusia sudah hadir. Apakah Rusia akan bersikap lemah, mengalah, dan membiarkan NATO menyerang? Atau apakah Rusia akan memutuskan bahwa tindakan NATO ini hanyalah usaha yang disamarkan untuk menggulingkan Bashar al-Assad, dan menyebabkan Rusia harus berperang melawan NATO? Banyak dampak lanjutan dari aksi teror di Paris yang belum terbayangkan. ***
Artikel ini ditulis oleh: