Sejumlah nelayan mengangkat plastik berisi cumi beku di Pelabuhan Jongor, Tegal, Jawa Tengah, Selasa (13/12). Meskipun harga cumi yang dibekukan dengan freezer lebih mahal berkisar Rp100 ribu per kg dibanding menggunakan es Rp50 ribu per kg, namun lebih banyak diminati warga karena daging yang lebih segar. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/foc/16.

Jakarta, Aktual.com – Front Nelayan Indonesia berencana untuk melakukan aksi di Jakarta pada tanggal 11 Juli 2017 dalam rangka untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka serta keprihatinan terhadap berbagai aturan yang dinilai telah memberatkan nelayan.

Rilis Front Nelayan Indonesia, Rabu (5/7), menyatakan bahwa sekitar 50 orang perwakilan nelayan se-Jawa telah melakukan konsolidasi di Jakarta, 4 Juli 2017, karena resah atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Beragam elemen nelayan yang hadir berasal dari sejumlah kota seperti Tegal, Lamongan, Rembang, Pati Juwana, Brebes, Probolinggo, Indramayu, Batang, Sukabumi, Tangerang, Pandeglang, dan Muara Baru.

Kelompok nelayan tersebut mengklaim berjuang untuk mempertahankan hak konstitusional serta berharap Presiden segera membatalkan berbagai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang menyengsarakan nelayan.

Sebelumnya, pengamat sektor kelautan Abdul Halim yang menyatakan, nelayan tradisional atau kecil yang tersebar di berbagai daerah perlu mendapatkan peningkatan akses terhadap permodalan guna mengembangkan sektor perikanan di Tanah Air.

Menurut Abdul Halim, peningkatan akses permodalan akan sangat membantu para nelayan dalam mengembangkan usahanya serta meningkatkan kesejahteraan keluarganya.

Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya kelancaran hulu hilir sektor perikanan dalam artian mulai dari ikan ditangkap, bisa didaratkan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), hingga adanya fasilitas “cold storage” (penyimpanan dingin) yang digunakan antara lain untuk pengolahan dan pemasaran.

Abdul Halim menyatakan pentingnya program yang bersifat kongkrit dalam rangka menerapkan konsep perikanan berkelanjutan yang juga bermanfaat untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan nelayan.

Untuk itu, Abdul Halim juga menilai KKP perlu mendorong munculnya skema pembiayaan permodalan dari pihak perbankan atau lembaga finansial lain yang lebih memberikan keadilan terutama bagi nelayan tradisional di berbagai daerah.

Menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan itu, skema pembiayaan yang menempatkan nelayan sebagai nasabah semata-mata tanpa mempertimbangkan situasi riil ekonomi dinilai justru akan meningkatkan kredit bermasalah.

Untuk itu, ujar dia, KKP mesti mendorong gerai permodalan nelayan yang mengadaptasi pola ekonomi nelayan, misalnya memberikan permodalan pada saat musim tangkap ikan.

Hal tersebut, lanjutnya, juga sangat jauh lebih baik bila dapat diaplikasikan kepada masyarakat perikanan skala kecil di berbagai daerah.

ANT

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Arbie Marwan