Jakarta, Aktual.com — Pakar Hukum Tata Negara, Prof Yusril Ihza Mahendra menegaskan Pemerintah tidak bisa seenaknya menggunakan pasal 30 UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi untuk memungut dana ketahanan energi (DKE) dari masyarakat lewat penjualan BBM yang mulai berlaku di tahun 2016.
“Untuk kepentingan penelitian energi baru dan terbarukan, pasal tersebut menyebutkan dananya berasal dari APBN, APBD dan dana swasta, yang terlebih dahulu harus dianggarkan. Penganggaran tersebut dengan sendirinya harus dengan persetujuan DPR dan DPRD,” tegas Yusril kepada wartawan di Jakarta, Jumat (25/12).
Yusril kembali menegaskan tidak ada norma apapun dalam pasal 30 UU Energi tersebut yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk melakukan pungutan langsung kepada masyarakat konsumen BBM.
“Tiap pungutan haruslah masuk dalam kategori PNBP yang lebih dulu harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah,” tegasnya lagi.
Yusril menjelaskan Pasal 30 UU Energi memang menegaskan bahwa ketentuan kebih lanjut tentang biaya riset untuk menemukan energi baru dan terbarukan harus diatur dengan PP. Namun hingga kini PP tersebut belum ada.
“Menteri ESDM tidak bisa menjalankan suatu kebijakan pungutan BBM tanpa dasar hukum yang jelas, baik menyangkut besaran pungutan, mekanisme penggunaan dan pertanggungjawabannya. Kebiasaan mengumumkan suatu kebijakan tanpa dasar hukum ini, seharusnya tidak dilakukan oleh Pemerintah karena bertentangan dengan asas
negara hukum yang dianut oleh UUD 1945,” jelasnya lagi.
Lagipula kata Yusril, tidak pada tempatnya Pemerintah memungut sesuatu dari rakyat konsumen BBM. Dari zaman ke zaman Pemerintah selalu memberikan subsidi BBM kepada rakyat, bukan sebaliknya membebankan rakyat dengan pungutan untuk mengisi pundi-pundi Pemerintah walau dengan dalih untuk kepentingan penelitian dan pengembangan energi baru dan terbarukan.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan