Serang, Aktual.com – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengungkapkan bahwa terdapat 31 perkara politik uang yang mereka tangani selama penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024. Anggota DKPP, Ratna Dewi Pettalolo, menyebut angka tersebut sebagai indikasi bahwa praktik transaksional masih mengakar kuat dalam kontestasi politik di Indonesia.

“Politik uang menjadi tantangan dan pekerjaan rumah bagi kita bersama. Sebanyak 31 perkara yang masuk ke kami cukup tinggi untuk demokrasi kita,” ujar Ratna Dewi dalam Media Gathering DKPP di Kabupaten Serang, Jumat (21/11/2025).

Ia menegaskan bahwa politik uang merupakan kejahatan luar biasa yang membutuhkan pendekatan luar biasa pula. Tidak cukup hanya mengandalkan aspek hukum, melainkan juga pendekatan etika untuk menumbuhkan sense of ethics dan sense of crisis di kalangan penyelenggara pemilu. Menurutnya, efek jera tidak hanya bergantung pada vonis pidana, melainkan pada kemampuan negara memperbaiki tata kelola pemilu.

Ratna menjelaskan bahwa DKPP tidak menilai politik uang dari aspek pidana, tetapi melihat sejauh mana KPU dan Bawaslu bekerja secara profesional dan adil ketika menangani laporan masyarakat. “Jika pelapor merasa tidak mendapatkan keadilan atau kerja-kerja penanganannya dinilai tidak profesional, barulah hal tersebut bisa dilaporkan ke DKPP,” katanya.

Ia mengakui bahwa dalam Pemilu dan Pilkada 2024, penanganan politik uang di tingkat penyelenggara belum optimal meskipun regulasi telah memberikan batasan tegas. Tantangannya, praktik politik uang di lapangan sering kali terstruktur, sistematis, dan masif, sementara undang-undang hanya membatasi subjek yang dapat dipidana seperti peserta pemilu dan tim kampanye.

Ratna menambahkan bahwa politik uang harus dipandang dari kacamata kualitas demokrasi, bukan sekadar pelanggaran administratif. Tanpa dimensi etika, upaya pemberantasan hanya akan menjadi ritual penegakan aturan tanpa hasil signifikan.

Ia menilai sinergi antara Bawaslu, KPU, DKPP, dan aparat penegak hukum seperti kepolisian menjadi krusial untuk memutus mata rantai politik uang yang menggerus kepercayaan publik terhadap pemilu.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi