Jakarta, Aktual.com – Sedikitnya 50 pulau buatan direncanakan akan menyesaki kawasan Teluk Jakarta. Jumlah ini setidaknya lebih banyak 33 buah pulau dari rencana reklamasi di kawasan tersebut.
Jumlah ini bertambah lantaran ada proyek National Capital Intergrated Coastal Development (NCICD). Proyek yang kerap dikenal sebagai Tanggul Laut Raksasa ini merupakan kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Belanda.
Ketua Bidang Pengembangan Hukum dan Nelayan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Marthin Hadiwinata, menyatakan bahwa pembangunan Tanggul Laut Raksasa hanya menambah proyek pulau buatan menjadi lebih banyak.
“Kita tidak melihat adanya perlindungan pesisir dan itu jadi masalah. NCICD itu adalah reklamasi itu sendiri. Kalau awalnya reklamasi itu 17 pulau dengan NCICD itu jadi 50 pulau di Teluk Jakarta. Jadi nanti ada 33 pulau yang akan di bangun dan ada di Master Plan,” paparnya kepada Aktual di Gedung Juang, Jakarta Pusat, Jumat (28/4).
Tanggul laut raksasa disebutkan akan memakan area sekitar 2.000 hektar, lebih kecil dari area reklamasi saat ini yang mencakul 5.100 hektar. Namun demikian, kondisi laut yang lebih dalam membuat proyek ini membutuhkan volume pasir yang lebih banyak dari pelaksaan proyek 17 pulau buatan.
Volume pasir ini pun menjadi salah satu yang disoroti Marthin. Menurutnya, dengan volume pasir yang lebih besar, artinya akann ada pasir pantai yang akan dikeruk untuk dijadikan 33 pulau buatan yang nantinya akan menjadi tanggul laut raksasa.
Padahal, lanjut Marthin, pengerukan pasir untuk 17 pulau buatan saja sudah melahirkan pertentangan masyarakat Banten, tempat asal pasir yang digunakan untuk mengurug 17 pulau buatan.
“Kemudian kita melakukan kalkulasi ke 33 pulau itu, mungkin tidak sebesar 17 pulau, tapi karena kedalamanya lebih dalam, dia membutuhkan pasir yang tak kalah banyak. Kita menghitung sampai 1 miliar meter kubik kebutuhan pasir untuk menimbun 50 pulau reklamasi NCICD,” Jelasnya.
Sementara itu, ahli Kelautan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Alan Koropitan beranggapan bahwa proyek reklamasi dan tanggul laut raksasa sudah tidak layak dari sisi lingkungan. Terutama terhadap proses ekosistem laut yang akan terganggu.
“Iya, tidak layak secara lingkungan. Tadi sudah saya katakan pola arus akan melambat, sehingga sedimen itu cenderung tertinggal di situ makanya sedimentasi akan meningkat kemudian organik akan semakin parah pencemarannya, logam berat akan semakin banyak terakumulasi di situ karena pola arus kan terganggu,”
“Dia akan semakin lambat dan cenderung stagnan, enggak bergerak sama sekali, kalau dia enggak bergerak di situ dia. Kalau sedimentasi meningkat di hilir, itu artinya penyumbatan air, ya banjir,” demikian Alan.
(Teuku Wildan)
Artikel ini ditulis oleh: