Jakarta, Aktual.co — Kalau ada peristiwa yang paling menarik perhatiandalam sepekan terakhir ini, maka peristiwa itu adalah keputusan pemerintahPresiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM),atau menaikkan harga BBM. Harga bensin dan solar masing-masing naik Rp 2.000,sehingga harga bensin Premium menjadi Rp 8.500, sedangkan harga solar menjadiRp 7.500 per liter.

Dengan tegas dan berani, Jokowi hari Senin (17November 2014) tampil terbuka di depan media dan mengumumkan kenaikan harga BBMitu. Jokowi tidak berlindung atau bersembunyi di belakang menterinya untukmengumumkan kebijakan yang penting, namun sangat tidak populer itu.

Peristiwa kedua adalah ditunjuknya mantan pendiriPartai Amanat Nasional (PAN) dan ekonom Fakultas Ekonomi UI, Faisal Basri,untuk memimpin “tim pemberantasan mafia migas.” Persisnya, hari Minggu (16November 2014), Faisal telah diberi amanah oleh Menteri ESDM untuk memimpin TimReformasi Tata Kelola Sektor Migas.

Tim ini mengemban empat tugas pokok. Pertama,mengkaji seluruh kebijakan dan aturan main tata kelola migas dari hulu hinggahilir, yang memberi peluang mafia migas beroperasi secara leluasa. Kedua,menata ulang kelembagaan, termasuk di dalamnya memotong mata rantai birokrasiyang tidak efisien. Ketiga, mempercepat revisi UU Migas dan memastikan seluruhsubstansinya sesuai dengan Konstitusi dan berpihak pada kepentingan rakyat.Keempat, mendorong lahirnya iklim industri migas di Indonesia, yang bebas daripara pemburu rente di setiap rantai nilai aktivitasnya.

Menurut Faisal, migas bukanlah sekadar sumberenergi, melainkan juga sebagai pundi-pundi penerimaan negara atau penopangAPBN. Ironisnya, subsidi BBM sudah jauh melampaui penerimaan negara dari bagihasil minyak dan pajak keuntungan perusahaan minyak. Subsidi BBM-lah yangmembuat primary balance dalam APBN sudah mengalami defisit sejak 2012.Lebih ironis lagi, dalam sepuluh tahun terakhir, sembilan tahun terjadi subsidiBBM lebih besar dari defisit APBN. Secara tak langsung bisa dikatakan sebagiansubsidi BBM sudah dibiayai dengan utang pemerintah.

Jokowi terpaksa menaikkan harga BBM karena manuverfiskal dalam APBN berkondisi kronis, yang diwarisinya dari pemerintahan SBY,sangat sempit. Kuota subsidi BBM praktis sudah habis dalam sebulan ini, meskiharga minyak dunia sedang menurun. Jadi Jokowi memilih tindakan rasional, demimenyelamatkan ekonomi nasional, meski ia tahu langkahnya itu amat tidakpopuler.

Kalau Jokowi tergoda mempertahankan popularitas,dengan menunda kenaikan harga BBM, keresahan dan kekacauan yang akan terjadidalam ekonomi nasional justru bisa lebih parah dan bisa berdampak lebih burukpada rakyat. Segala usulan muluk untuk menolak kenaikan harga BBM, seperti memberantasmafia migas, menggali pemasukan dari sektor pajak, menyita harta koruptor, danlain-lain, adalah bagus dan benar belaka. Namun, waktu yang tersisa sangat pendek,cuma sekitar sebulan. Padahal, problemnya sangat konkret. Semua opsi alternatifitu butuh waktu panjang untuk bisa diimplementasikan, sehingga tak bisa memberisolusi jangka pendek.

Jokowi mengimbangi kenaikan harga BBM itu denganmelakukan langkah-langkah, yang diharapkan akan memberi solusi yang lebihpermanen dan berjangka panjang. Penunjukan Faisal Basri, tokoh yang dikenal kredibilitasdan integritasnya, untuk memimpin “tim pemberantasan mafia migas,” adalahlangkah awal yang tepat. Faisal diharapkan bisa memberi masukan yangindependen, karena tidak terkait dengan kelompok yang fanatik mendukung Jokowidan juga kelompok yang fanatik anti-Jokowi. ***

Jakarta, 18 November 2014

Satrio Arismunandar, Senior Editor

Artikel ini ditulis oleh: