Hari itu ada hajatan besar di Solo.
Sejak pagi hari di Kamis pahing, tanggal 1 Bakdamulud yang bertepatan dengan tanggal 23 Februari 2012 sudah terlihat tanda-tanda kesibukan di Solo Technopark, Jalan Ki Hajar Dewantara Jebres Solo.
Ya. Pada Kamis malam itu (masuk malam Jumat pon 24 Februari 2012) Jokowi akan menggelar acara Wilujengan (selamatan) dan Jamasan (pencucian) Mobil Esemka Rajawali AD 1 A dalam adat Jawa sebelum berangkat ke Tangerang untuk uji emisi esok harinya.
Satu set tumpeng lengkap yang berisi nasi gurih, ingkung, sambel goreng ati dan kedelai hitam sudah disiapkan bersama bejana perak berisi air dan bunga setaman tujuh warna.
Tampak disana mobil dinas Wali Kota Esemka warna hitam diuntai kembang setaman dari rangkaian bunga mawar merah dan putih, kantil kuning dan putih, kenanga dan melati yang dianggap sebagai penolak bala.
Sejumlah penari dengan gerakan gemulai mengikuti alunan dandanggula. Ketika gerak dan irama itu sudah mulai menyulap suasana, Wali Kota Jokowi dipersilakan menyiram secara perlahan air bunga tujuh rupa dalam bejana perunggu itu ke mobil. Menyusul kemudian Wakil Wali Kota FX Hadi Rudyatmo.
Setelah jamasan selesai, enam tokoh agama dari Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu dan Konghucu bergantian
mendoakan agar mobil dinas Wali Kota Solo itu sukses ketika uji emisi. “Kita berdoa untuk keselamatan Esemka dalam perjalanan dan kesuksesan uji emisi Esemka,” komentar Jokowi yang saat itu mengenakan beskap lurik khas Solo dihadapan beberapa media.
Mobil Esemka Rajawali menjadi salah satu alat penting bagi Jokowi untuk mendongkrak pencitraanya. Meskipun, kabar terakhir, ternyata mobil Esemka bermasalah.
Di Tanjung Priok, Rabu 22 Oktober 2014, beberapa waktu lalu.
Jokowi akan mengumumkan susunan kabinetnya tanpa dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla. Meski nama menterinya belum lengkap karena beberapa nama dikabarkan ditandai merah dan kuning oleh KPK dan PPATK, Presiden Jokowi tetap bersikeras akan mengumumkan nama menteri.
Menurut tradisi Istana Kepresidenan, susunan kabinet biasanya diumumkan di Istana Presiden. Dan itu harus lengkap. Tidak dicicil. Setidaknya, Wapres Jusuf Kalla dalam beberapa pernyataannya, sudah mengisyaratkan hal itu.
Dan memang, akhirnya Jokowi membatalkannya. Lalu muncul spekulasi dan rumor. Mulai dari pengamat, politisi sampai dan media membicarakan alasan mengapa Jokowi keukeuh ingin mengumumkan pada Rabu 22 Oktober jam 20.00 malam (dalam kalender Jawa, masuk malam Kamis Kliwon) dan mengapa juga digagalkan sendiri oleh Jokowi.
Namun dari sekian banyak komentar, yang paling menggelitik adalah komentar Khofifah Indar Parawansa sebelum dia dipastikan jadi Menteri Sosial di kabinet Jokowi-JK : “Saya kira ini karena 1 Muharram (1 Sura.red), hari (atau bulan) yang dianggap jelek ini,” kata Khofifah ketika berbincang dengan Pemimpin Pondok Pesantren Bahrul Maghfiroh Malang, Edy Lukmanul Karim bin Abdullah Fattah pada Jumat (24/10/2014) malam (suara.com).
Sebagai orang Solo yang sangat menghormati etika Jawa Mataraman, Jokowi sebenarnya ingin memberi sinyal politis bahwa dia tidak bisa melakukan hajatan besar pada bulan Sura (Asyuraa, arab.red), awal perubahan tahun Jawa. Ingat, pada Jumat sore Sabtu tanggal 24 Oktober 2014, dalam kalender Jawa sudah masuk bulan Suro yakni tanggal 1 Suro kalender Jawa atau tanggal 1 Muharram dalam kalender Islam.
Bagi orang yang memegang teguh etika Jawa, bulan Sura, terutama malam menjelang 1 Suro, memiliki makna fisik dan spiritual. Bulan Sura menandai bergantinya Naga Dina dan Naga Tahun, yakni berubahnya sifat dan karakter kosmis dan dunia gaib.
Begitu pentingnya bulan Sura, Kesultanan Yogya dan Solo selalu memperingati besar-besaran bulan ini. Ini bulan selain untuk introspeksi diri, juga menjadi tempat untuk melakukan acara selamatan, ruwatan, atau bentuk tradisi lain menolak bala.
Jadi, orang Jawa yang masih memegang teguh etika Jawa tidak akan pernah melakukan hajatan besar di bulan ini. Takut terkena bala, katanya. Di beberapa tempat di tanah air dan negara lain juga melakukan hal yang sama, namun lebih pada memperingati syahidnya Sayyidina Husain ibn Abu Thalib ra.
Entah benar atau tidak komentar Khofifah itu. Namun, setidaknya, salah satu cara untuk memahami cara Jokowi melakukan komunikasi politik juga harus dilihat dari sisi yang lain: Etika Jawa.
Artikel ini ditulis oleh: