Jakarta, Aktual.co — “Kemana raibnya kemampuan bangsa bangun borobudur dan pinisi? Di tanah-air yg sama, tampilan fisik tumbuh; mental-karakter jatuh” Cuit Yudi latif di akun media sosial twitter @yulatif pada 2 Nov 2014 pukul 15.40.
Cuitan dari mantan rektor Universitas Paramadina, yang dilengserkan oleh persekongkolan internal, di atas itu benar. Kita saksikan penampilan fisik negara bangsa ini bertumbuh dengan tampilan yang tak kalah memukau di antara sesama negara jiran. Semua simbol kemajuan kosmopolitan mudah ditemui di pelosok negeri ini. Bahkan produk teknologi tercanggih, terutama dalam teknologi informasi, seperti gadget pun telah merasuk hingga ke pedalaman dan puncak gunung.
Tidak ada yang salah dengan itu semua. Bahkan, andai semua hanya tampilan fisik komoditas peradaban modern itu lebih merupakan perluasan akses pasar global. Kehidupan di planet Bumi saat ini memang tak memungkinkan lagi suatu Negara bangsa menutup diri. Kuba sudah buka diri. Myanmar sekalipun. Jagad manusia memang telah menjadi dunia tanpa batas negara.
Namun manakala mental bangsa, terutama karakter elite terjatuh, saat itu pula bangsa negara ini terpuruk jadi pasar pemamah sampah industri negara maju. Apalagi sosok megah aneka lembaga baru politik, ekonomi, sosial, budaya yang kini hadir di nusantara, baik fisik maupun konsepsional, selaku simbol peradaban maju, seperti demokrasi atau iptek, hanya relokasi aset negara donor dan investor asing. Kadang, malah hanya laboratorium eksperimen pengujian teori mereka.
Itu semua, seperti kata Yudi, akibat kejatuhan mental karakter bangsa, sehingga kemampuan local genius nusantara membangun Borobudur dan phinisi pun raib. Nun di Senayan, berbagai simbol demokrasi, yang terwakili oleh gedung DPR/MPR seolah mulai memudar. Beda jauh dengan Gedung Merdeka di Bandung. Sekolot apapun gedung itu, tekad juang bangsa-bangsa tertindas di Asia Afrika, bahkan Amerika Latin, masih terpancar penuh wibawa.
Mental karakter jatuh kian parah, begitu hakekat politik sesuatu yang bermakna mulia, yang dulu mampu melahirkan Dasasila Bandung, kelahiran Pancasila, dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, telah didegradasikan turun derajat jadi ‘politicotaintmen’.
Politik tak lagi sesatria perjuangan founding father bangsa Indonesia. Politik pun cenderung jadi jalan pintas memburu harta dan sukses simbol kehidupan. Bahkan politik saat ini hanya menjadi remah hiburan aksi selfie berbagai aktor parpol yang mendadak asyik masturbasi jadi pesohor di ajang selebritis demokrasi modern.
Semua itu tak lepas dari kinerja tak berkualitas dunia media massa modern terkini yang asal berkarakteristik real time, baik media online maupun siar dengar pandang. Modus berita asal heboh, paling cepat, dan membetot minat khalayak, jadi perburuan pemilik media seturut pemeringkatan rezim AC Nielsen dan Alexa, guna meraup iklan semata.
Sesungguhnya tak ada yang salah dengan online journalism maupun audiovisual. Seperti belati atau pistol, keduanya tidak pernah membunuh. Yang membunuh adalah pengguna senjata itu.
Begitu pun media online yang kini condong mengandalkan pemberitaan doorstop (cegat narasumber) untuk secuil komentar biar bisa diberitakan secepatnya. Tak ada lagi wawancara, tiada lagi latar berita yang mencerdaskan. Fungsi informasi dan edukasi dari media kini dibenam fungsi hiburan dan kepentingan komersial. Politik pun dikonstruksi sekedar politicotaintment seheboh artis kawin cerai.
Khalayak hanya disuguhi ‘politik kerupuk’ berbunyi riuh tapi tak mengenyangkan dan tak bergizi. Intelejen bangsa pun kian terpuruk. Semua akibat komodifikasi di segala ranah kehidupan oleh keberingasan kapitalisme yang masuk ke nusantara, yang hingga kini tak kunjung dijinakan seperti di negara induk asalnya.
Mampukah jargon ‘anti neolib’ yang diteriakkan kalangan oposisi Presiden Jokowi dan ide ‘revolusi mental’ yang didengungkan pendukung Jokowi-JK mengatasi masalah mental karakter sesuai tekad Trisakti, berdalaut dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan?
Semoga.
Artikel ini ditulis oleh: