Dalam sebuah kolom khusus di New York Times (November 2011), Paul Krugman pernah menyoal bahwa Amerika bukan lagi sebagai negara demokrasi. Namun negara oligarki.
Penerima Nobel di bidang Ilmu Ekonomi itu menuliskannya dalam sebuah tajuk berjudul “Oligarchy, American Style” yang sarat sindirian. Dia menulis: “Anyone who has tracked this issue over time knows what I mean. Whenever growing income disparities threaten to come into focus, a reliable set of defenders tries to bring back the blur. Think tanks put out reports claiming that inequality isn’t really rising, or that it doesn’t matter. Pundits try to put a more benign face on the phenomenon, claiming that it’s not really the wealthy few versus the rest, it’s the educated versus the less educated”.
“So what you need to know is that all of these claims are basically attempts to obscure the stark reality: We have a society in which money is increasingly concentrated in the hands of a few people, and in which that concentration of income and wealth threatens to make us a democracy in name only”.
Analisis ekonom penting New Keynesian ini selalu mendapat counter. Mungkin karena dianggap risetnya tidak terlalu dalam. Mungkin juga itu hanya sebatas kesimpulan sementara dari beberapa fakta ekonomi kuantitatif yang dia peroleh. Atau, pernyataannya, secara politis, sudah mengganggu kepentingan kelompok tertentu.
Namun, jauh sebelumnya, Jeffrey A. Winters (2009) sebenarnya sudah memulai riset soal oligarki di AS. Associate Proffesor di Political Science, Northwestern University ini bersama rekannya Benjamin I. Page, seorang professor di Gordon Scott Fulcher of Decision Making, Northwestern University sempat memublikasikan risetnya yang berjudul “Oligarchy in the United States” di Cambridge Journals.
Mereka meriset data distribusi pendapatan dan kekayaan di AS. Hasilnya, hampir mirip dengan hipotesa Krugman, bahwa segelintir orang kaya di AS ternyata memiliki pengaruh kuat terhadap kebijakan ekonomi dan politik di AS: “A brief review of the literature suggests possible mechanisms by which such influence could occur, through lobbying, the electoral process, opinion shaping, and the US Constitution itself”.
Yang mengejutkan, pada April 2014 lalu, muncul sebuah penelitian yang cukup signifikan membenarkan dan memperkuat pendapat Krugman dan Winters. Boleh dikatakan, riset ini adalah riset pertama, cukup komprehensif dan sangat penting dalam sejarah yang mengatakan bahwa AS bukan ‘Raja’ sistem demokrasi. Mungkin bisa dikatakan AS adalah rajanya sistem oligarki.
Judul riset itu cukup panjang,”Testing Theories of American Politics: Elites, Interest Groups, and Average Citizens”. Riset yang dilakukan Martin Gilens, seorang Professor Politics di Princeton University dan Benjamin I. Page (rekan Jeffrey A. Winters) ini dimuat dalam jurnal akademik “Perspectives on Politics” (2014).
Pertanyaan awal riset mereka cukup sederhana: Siapa sebenarnya yang memerintah dan menjalankan negara Amerika Serikat?
Lalu, dengan menggunakan teori Majoritarian Electoral Democracy; teori Economic Elite Domination; teori Majoritarian Pluralism; dan teori Biased Pluralism mereka berusaha menjawab pertanyaan ini: Siapa aktor penting yang paling berpengaruh dalam menentukan kebijakan publik di AS? Apakah rakyat AS, elit ekonomi, atau organisasi/kelompok kepentingan (massa dan bisnis)?
Mereka kemudian menguji 1,779 kebijakan publik yang ada di AS. Ini jumlah yang cukup besar dalam sejarah untuk studi uji kebijakan publik. Salah satu kesimpulannya, ada yang salah dengan demokrasi di AS. “…our analyses suggest that majorities of the American public actually have little influence over the policies our government adopts. Americans do enjoy many features central to democratic governance, such as regular elections, freedom of speech and association, and a widespread (if still contested) franchise. But we believe that if policymaking is dominated by powerful business organizations and a small number of affluent Americans, then America’s claims to being a democratic society are seriously threatened”.
Ini salah satu riset penting yang membuktikan bahwa (secara ilmiah bukan sekadar pernyataan politik.red), sistem demokrasi di Amerika Serikat sudah berubah menjadi sistem oligarki.
Lalu, apa arti penting riset itu bagi perkembangan demokrasi global dan Indonesia khususnya?
Pertama, bahwa AS bukan lagi contoh penting bagi negara lain dalam tata cara berdemokrasi. Mungkin, bisa dikatakan, AS adalah contoh negara ologarkis paling canggih yang pernah ada sampai saat ini.
Kedua, semua bentuk tekanan dibalik kerjasama ekonomi, politik dan militer yang dilakukan AS ke banyak negara dengan mengatasnamakan demokrasi perlu dikajiulang. Karena keputusan-keputusan tersebut bukan atas nama kepentingan rakyat AS tapi atas nama kepentingan oligarki (kepentingan kelompok bisnis dan klik kelompok elite politik) tertentu.
Setidaknya, catatan-catatan itu bisa dijadikan refleksi untuk melihat hakikat hubungan kerjasama internasional yang sudah dilakukan Indonesia saat ini.
Ini juga bisa jadi catatan penting buat rezim Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam menyikapi tekanan geopolitik dari negara-negara kuat saat ini. Bahwa tidak semua bentuk kerjasama antar negara itu selalu berakhir dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat dan kedaulatan negara bangsa ini. Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah banyak kerjasama antar negara berakhir pada keuntungan segelintir perusahaan dan kelompok elit tertentu.
Dengan visi politik internasional yang bebas dan aktif yang tanpa mengorbankan kesejahteraan rakyat dan kedaulatan negara bangsa ini, Bung karno sebenarnya telah meletakkan konsep kerakyatannya dalam visi internasionalismenya. Bukan visi dan konsep yang oligarkis.
Bagaimana Jokowi-JK? Mari kita lihat kepemimpinan mereka. Apakah benar arah kebijakan yang mereka buat akan membela rakyat (sistem demokrasi kerakyatan) atau justru membela dan terjebak oleh kepentingan yang oligarkis (sistem oligarki).
Kita harus terus menerus untuk mengingatkan soal ini kepada seluruh pemimpin, tokoh dan pemegang amanah kekuasaan yang ada di negeri ini.
Artikel ini ditulis oleh: