Jakarta, Aktual.com — Presiden Republik Indonesia Joko Widodo sudah seharusnya berhenti menyelesaikan semua masalah dalam satu waktu dan hanya perlu terfokus pada hal yang penting. Kurang dari satu tahun dalam masa jabatannya, Jokowi telah menghadapi serangkaian tantangan, baik politik dan ekonomi.

Serangkaian tantangan antara lain, pertama, yaitu isu perombakan kabinet (reshuffle). Beberapa menteri kabinet kerja dinilai gagal dalam melakukan tugasnya, sehingga Jokowi harus berlaku adil antara tuntutan dari anggota koalisi dengan kebutuhan profesional nonpartisan. Bagi Jokowi, tuntutan ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan.

Tentu saja, Jokowi berkewajiban memenuhi tuntutan semuanya. Paling tidak sebagian untuk kepentingan bisnis dan sebagaian untuk kepentingan politik. Namun, tantangan nyata bagi Jokowi pada masa mendatang adalah menunjuk individu untuk memimpin kementerian ekonomi. Karena posisi tersebut merupakan komandan tertinggi bagi perekonomian Indonesia, mereka (menteri ekonomi) juga merupakan posisi yang paling berharga untuk kepentingan politik.

Tuntutan kepentingan politik tentu menimbulkan risiko besar. Jika Jokowi terlalu menenangkan pemimpin koalisi dan memberikan posisi Menteri Ekonomi, Jokowi bisa berakhir dengan hal yang lebih buruk.

Terkait dengan melemahnya dan terpuruknya ekonomi rakyat Indonesia, pemilih Jokowi pada Pemilu lalu tidak akan menyalahkan para pemimpin partai politik karena mereka telah bekerja dengan baik sejauh ini. Sebaliknya, mereka akan menyalahkan Jokowi.

Di sisi lain, jika dalam menjalankan perekonomian Jokowi berhasil menemukan dan memilih individu-individu terbaik dan tercerdas di Indonesia, maka Jokowi akan mendapatkan musuh lebih banyak dari koalisi berkuasa. Di sisi lain, dia akan mendapatkan pujian dari para pemilihnya, bahkan lebih penting, pujian dari komunitas bisnis.

Tugas kedua Jokowi adalah menenangkan situasi ekonomi yang sedang goyah. Meskipun Presiden dan penasihatnya percaya, badai ekonomi hanya sesaat.

Berlanjutnya ketidakpastian ekonomi global, pertumbuhan ekonomi China yang menurun diluar perkiraaan, harga komoditas yang lebih rendah, dan hilangnya kepercayaan investor di Indonesia menunjukkan bahwa mereka membutuhkan tindakan yang nyata dari pemerintah.

Perekonomian Indonesia ditargetkan tumbuh tidak lebih dari 5 persen pada 2015. Pertumbuhan ekonomi selama dua kuartal menurun, bahkan bisa dikatakan belum menyentuh nilai dasar. Faktor eksternal menyebutkan perekonomian melambat, sebagian besar perlambatan karena kesalahan kebijakan pemerintah Indonesia, bahkan banyak dari mereka merupakan orang lama yang sebelumnya telah berada di pemerintahan.

Satu pelajaran penting yang harus diambil Jokowi beberapa hari ini adalah melakukan lebih banyak kerja. Kebijakan Kabinet Kerja diambil tanpa memiliki tujuan dan prioritas yang matang. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk membuat prioritas.

Alih-alih mencoba melakukan semuanya sekaligus, pertanyaan muncul: Apa yang paling penting, apa kendala yang dialami pertumbuhan ekonomi saat ini, dan bagaimana kita dapat mengatasi kendala tersebut dengan cara yang paling bijaksana?

Kendala yang paling nyata adalah tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jokowi harus sadar belanja infrastruktur pemerintah rendah. Lebih dari setengah tahun pemerintahan berjalan, realisasi serapan anggaran hanya 8 persen. Disini jelas ada kemacetan (bottleneck) serius. Jika dibiarkan terus-menerus, ini menjadi ancaman bagi perekonomian, baik dalam jangka pendek maupun menengah.

Untungnya, ada perbaikan cepat. Jokowi memiliki penasihat ekonomi yang bisa mengatur revaluasi aset BUMN. Banyak dari perusahaan BUMN nilai asetnya dibawah nilai semestinya (undervalued), sehingga setelah BUMN direvaluasi dengan baik, BUMN bisa meningkatkan pembiayaan sendiri untuk proyek-proyek infrastruktur dengan menerbitkan obligasi (utang) domestik dan global.

Dengan mata uang rupiah yang terus melemah dan kelebihan kapasitas industri sebesar 30 persen, terlihat ada potensi untuk peningkatan ekspor. Namun, saat ini eksportir dibatasi oleh kurangnya fasilitas kredit. Jika Jokowi menggunakan bank-bank BUMN sebagai kendaraan untuk memperluas kredit bagi eksportir, dengan sedikit usaha, akan didapat hasil yang cepat.

Terakhir, pemerintah perlu mengatasi penurunan belanja konsumen. Penurunan ini sebagian terjadi karena kurangnya percaya diri terhadap perekonomian bangsa. Selain itu, inflasi komoditas pangan juga turut mendorong turunnya belanja konsumen. Pendapatan rumah tangga dihabiskan untuk membeli sembako, padahal sebagian besar pasokan bermasalah.

Terkendalanya pasokan pangan tidak hanya menyebabkan penurunan produksi dalam negeri, tetapi juga kuota impor. Sebagian besar kuota dikuasai “mafia pangan” yang mengontrol impor komoditas pangan dan kemudian menjualnya dengan harga yang lebih tinggi. Penghapusan kuota impor akan menghasilkan harga pangan yang lebih rendah dan meningkatkan daya beli konsumen.

Pihak-pihak yang berusaha mengambil keuntungan pasti akan memprotes langkah tersebut. Mereka akan menggunakan bendera nasionalisme sebaga alasan ketika berdebat melawan pencabutan kuota. Jokowi harus berpegang teguh pada pendiriannya dan menggunakan otoritas sebagai Presiden demi kebaikan rakyat Indonesia. itu adalah kunci keberhasilan sebagai presiden.

Ditulis Oleh: Rizal Ramli, Komisaris Bank BNI dan mantan menteri koordinator perekonomian dan menteri keuangan Era Gusdur, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Kabinet Jokowi-JK

Artikel ini ditulis oleh:

Eka